Dengan harga per unit hampir US$ 150 juta atau Rp 2,1 triliun (Wired melaporkan Rp 3,1 triliun), Drone Global Hawk terbilang sangat mahal dan ini menjadi alasan mengapa militer AS hanya memiliki sekitar 35 unit.
Dalam ulasan Aljazeera, Drone Global Hawk dioperasikan semi-otonom. Ini berarti bahwa begitu drone diberi perintah, drone dapat pergi untuk menuju ke situs target, menyelesaikan misi mereka dan kembali. Semuanya tanpa bantuan intervensi manusia.
Drone ini sangat cocok untuk pengawasan area luas, menjadikannya pengawasan maritim yang sangat berguna, bahkan dapat terbang melintasi Samudra Pasifik tanpa perlu mengisi bahan bakar.
Angkatan Laut AS telah menguji coba drone dan memiliki varian sendiri, Triton. Tahun lalu, Jepang setuju untuk membeli tiga Drone Global Hawk untuk memantau perairannya yang luas.
3. Operasional Drone Global Hawk
Personel Angkatan Udara AS mempersiapkan drone militer AS RQ-4A Global Hawk untuk lepas landas di lokasi yang dirahasiakan di Asia Barat Daya,2 Desember 2010.[REUTERS]
Pada awal 2000-an, Angkatan Laut AS dan Angkatan Udara AS mulai membeli Global Hawks. Pada tahun 2004, Angkatan Laut mengatakan bahwa Angkatan Udara membeli empat pesawat Global Hawk dengan harga sekitar US$ 360 juta (Rp 5 triliun). Menurut rilis berita 2013 oleh Northrop Grumman, perusahaan tersebut telah mengirimkan total 37 Global Hawks ke Angkatan Udara.
Baca juga: Video Detik-detik Rudal Iran Tembak Drone Mata-mata Amerika
Angkatan Laut dalam beberapa tahun terakhir telah membeli drone MQ-4C Triton, yang memiliki lebar sayap 40 meter, sedikit lebih besar dari Global Hawk. Angkatan Laut pada bulan Maret meminta dua Tritons MQ-4 dan menganggarkan US$ 473 juta (Rp 6,7 triliun) untuk pesawat dan peralatan terkait.
RQ-4 Global Hawk melakukan penerbangan pertamanya pada 28 Februari 1998, dan sejak itu Drone Global Hawk telah mengumpulkan lebih dari 250.000 jam penerbangan, termasuk dalam operasi militer di Irak, Afganistan, Afrika Utara, dan wilayah Asia-Pasifik yang lebih luas, menurut situs perusahaan.