TEMPO.CO, Jakarta - PBB mengalami kegagalan sistemik dalam mengatasi situasi di Myanmar hingga mengarah pada kerusuhan dugaan pembunuhan massal pada 2017 terhadap masyarakat etnis Rohingya. Pengakuan itu termaktub dalam laporan PBB yang dipublikasi pada Senin, 17 Juni 2019.
Temuan itu muncul setelah Sekjen PBB Antonio Guterres pada Februari lalu memerintahkan dilakukan evaluasi internal terhadap operasi PBB di Myanmar setelah negara yang dulu bernama Burma itu dituding mengabaikan tanda-tanda peringatan serangan terhadap etnis minoritas Rohingya.
Baca juga:Bela Rohingya OKI Gugat Myanmar di Pengadilan Internasional
Baca juga:Kisah Kejamnya Tentara Myanmar Membantai Etnis Rohingya
Saat ini diperkirakan ada sekitar 740 ribu masyarakat etnis Rohingnya berlindung di kamp-kamp di Bangladesh setelah melarikan diri dari negara bagian Rakhien pada 2017. Ketika itu, PBB menggambarkan adanya upaya pembersihan etnis melalui kampanye militer di wilayah tersebut.
"Sulit untuk menetapkan tanggung jawab atas kegagalan sistemik. Ada sebuah tanggung jawab bersama pada semua pihak yang terlibat terkait pelanggaran HAM berat," demikian bunyi laporan tersebut setebal 36 halaman, seperti dikutip dari asiaone.com, Selasa, 18 Juni 2019.
Laporan PBB itu ditulis oleh diplomat bernama Gert Rosenthal dan dibagikan pada anggota PBB yang mencela perpecahan ketimbang kohesi antar sistem di PBB yang tidak ada strategi jelas dan terpadu serta kurangnya analisis sistem terpadu dari lapangan.
Rosenthal mengatakan PBB perlu meningkatkan, mensistematiskan dan membagi data yang terkumpul serta menganalisis kejadian di lapangan tepat waktu. Apa bila ada perbedaan interpretasi, maka hal ini harus disampaikan dan ada upaya untuk bisa difahami.
Diantara sejumlah penyebab kegagalan PBB adalah ketertarikan komunitas internasional pada transisi politik, padahal itu hanyalah secuil bagian dari pencapaian Aung San Suu Kyi mewujudkan pemerintahan sipil.
Rosenthal menilai Komisi Tinggi PBB untuk HAM Zeid Ra'ad Al Hussein telah menjadi pihak yang paling konsisten dalam menyerukan pelanggaran HAM yang terjadi di Rakhine pada etnis Rohingya, namun ini mengarah pada sejumlah kegelisahan di antara anggota PBB yang mendukung pendekatan diplomasi diam-diam.