TEMPO.CO, Hong Kong – Pemerintah Cina menegaskan dukungannya kepada Kepala Eksekutif Hong Kong, Carrie Lam, pasca unjuk rasa besar-besaran yang menolak pembahasan RUU Ekstradisi.
Baca juga: Konglomerat Hong Kong Pindahkan Uang karena RUU Ekstradisi
Pejabat di pemerintah Hong Kong menyebut pemerintah Cina tidak akan membiarkan Lam mengundurkan diri seperti desakan para pengunjuk rasa.
“Pemerintah Cina selalu mendukung penuh kerja dari Kepala Eksekutif Carrie Lam dan pemerintahan Hong Kong,” kata Lu Kang, juru bicara Kemenlu Cina, dalam jumpa pers di Beijing, Cina, pada Senin, 17 Juni 2019, seperti dilansir Reuters.
Lu Kang mengatakan,”Pemerintah pusat akan terus mendukung penuh kepala eksekutif dan pemerintahan Hong Kong sesuai dengan UU yang berlaku.” Hong Kong memiliki status wilayah administrasi khusus.
Baca juga: 5 Poin Menarik Soal Kontroversi RUU Ekstradisi Hong Kong
Polisi Hong Kong mengatakan telah menangkap 32 orang pengunjuk rasa sejak digelarnya unjuk rasa yang berakhir ricuh pada pada Rabu pekan lalu. Saat itu, pengunjuk rasa mengultimatum pemerintah dan parlemen atau Dewan Legislasi untuk menghentikan pembahasan RUU Ekstradisi.
Polisi menembakkan peluru karet dan semprotan merica kepada pengunjuk rasa yang mencoba menembus barikade polisi di depan gedung parlemen.
Baca juga: Cina Dukung Hong Kong Soal RUU Ekstradisi
Carrie Lam sempat mengatakan akan terus berupaya mengesahkan RUU Ekstradisi ini sebelum akhirnya menyatakan penundaan pembahasan tanpa batas waktu. Awalnya, pemerintah Hong Kong bakal mengesahkan RUU ini pada 20 Juni 2019.
Ratusan ribu pengunjuk rasa melakukan aksi protes menuntut pemimpin kota Hong Kong mengundurkan diri di Gedung Dewan Legislatif, Hong Kong, 16 Juni 2019. REUTERS/Tyrone Siu
RUU Ekstradisi mengatur ketentuan kepala eksekutif dan pengadilan di Hong Kong boleh mengekstradisi tersangka pelaku kriminal ke sejumlah negara yang tidak memiliki kerja sama ekstradisi termasuk ke Cina.
Baca juga: Empat Organisasi Jurnalis Tolak RUU Ekstradisi Hong Kong
Ini menimbulkan protes keras yang berakhir rusuh. Warga Hong Kong merasa khawatir hak kebebasan berpendapat dan demokrasi menjadi tertekan karena setiap pelanggar bisa diekstradisi ke Cina untuk menjalani proses hukum.
Hong Kong kembali ke Cina pada 1997 setelah sempat dikelola Inggris selama 99 tahun pasca Perang Opium. Inggris dan Cina membuat kesepakatan Hong Kong menganut sistem satu negara dengan dua sistem yaitu menjadi bagian Cina tapi menganut sistem demokrasi dan bukannya komunis.