Berdasarkan pengamatan Tempo, tempat-tempat belanja di kota Tokyo, Kawasaki, dan Karuizawa masih menyediakan kantong plastik secara cuma-cuma. Sebagian besar makanan, juga barang lain yang dijual, masih dibungkus plastik.
Sembari meningkatkan kapasitas pengolahan sampah plastik di dalam negerinya, Jepang juga gencar mengkampanyekan “perang” melawan plastik pada lingkup internasional. Pada pertemuan keempat Majelis Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEA) pada Maret lalu, Jepang mengusulkan resolusi tentang sampah plastik dan mikroplastik laut.
“Saya senang melaporkan bahwa resolusi tersebut telah berhasil diadopsi,” ujar Harada.
Pada forum Converence of Parties (COP) ke-14 yang menghasilkan Konvensi Basel, Jepang juga mengusulkan amandemen untuk memasukkan plastik yang terkontaminasi sebagai bahan yang akan diatur dalam ekspor-impor sampah antar negara.
Menurut Harada, tantangan terpenting sekarang adalah bagaimana mencegah pembuangan sampah plastik ke lautan.
“Inovasi adalah kunci untuk mengatasi tantangan ini.” Untuk memfasilitasi inovasi global, kata dia, masing-masing negara penting untuk berbagi informasi tentang praktik terbaik dan belajar satu sama lain.
Pada pertemuan G20 kali ini, Jepang mengusulkan kerangka kerja untuk tindakan sukarela setiap anggota G20 dalam mengatasi sampah plastik laut.
“Saya sangat berharap bahwa G20 akan memimpin dunia untuk mengambil langkah lebih lanjut dalam mengatasi sampah plastik laut,” ujar dia.
Seorang penyelam mengumpulkan sampah yang berada di Laut Adriatic, Taman Nasional Kornati, Kroasia, 12 Mei 2018. Polusi plastik yang berada di Laut Mediterania mendorong Greenpeace di Kroasia, Spanyol, Italia, Yunani, dan Bulgaria mengkampanyekan melawan barang-barang plastik sekali pakai. REUTERS/Antonio Bronic
Jepang juga berjanji melakukan tindakan nyata serta berbagi informasi tentang penanggulangan sampah plastik laut, sejalan dengan kerangka kerja yang akan mereka usulkan.
“Kami juga akan mempromosikan kerja sama internasional dengan negara tetangga di kawasan Asia dan banyak negara lain di dunia.” Dengan cara ini, kata Harada, negara berkembang diharapkan bisa membangun sistem pengumpulan dan pengelolaan limbah yang ramah lingkungan, termasuk untuk limbah plastik.
Jepang, misalnya, akan mendirikan Pusat Pengetahuan Regional tentang Sampah Plastik Laut (Regional Knowledge Center on Marine Plastic Litters) di bawah naungan Lembaga Penelitian Ekonomi untuk ASEAN dan Asia Timur atau The Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA) di Thailand. Lembaga itu akan berfungsi sebagai pusat informasi untuk lebih memahami dan berbagi kebijakan dan praktik terbaik di setiap negara.