TEMPO.CO, Hong Kong – Dukungan untuk pengesahan RUU Ekstradisi di Hong Kong mulai melemah.
Baca juga: 5 Poin Menarik Soal Kontroversi RUU Ekstradisi Hong Kong
RUU itu mengatur ketentuan ekstradisi yang berlaku bagi warga Hong Kong, warga negara Cina yang tinggal atau sedang berjalan-jalan di sana untuk diadili di Cina jika ada masalah hukum.
Ketentuan ini dikhawatirkan bakal mengganggu citra Hong Kong yang demokratis dan terbuka serta dikenal sebagai pusat keuangan dunia.
Baca juga: Cina Dukung Hong Kong Soal RUU Ekstradisi
“Apakah kita berkonsultasi, memperkuat RUU itu? Apakah ada kemungkinan RUU itu disahkan? Ini semua faktor yang harus dipertimbangkan pemerintah,” kata Bernard Chan, yang merupakan anggota Dewan Eksekutif dan menjadi penasehat dari Carrie Lam, yang merupakan kepala eksekutif Hong Kong, seperti dilansir Channel News Asia pada Jumat, 14 Juni 2019.
Chan melanjutkan,”Menurut saya saat ini itu tidak mungkin dilakukan – saat terjadi perbedaan yang begitu intensif – membahas isu seperti ini. Tingkat kesulitannya sangat tinggi.”
Baca juga: Unjuk Rasa Menolak RUU Ekstradisi Hong Kong Digelar di Sydney
Pembahasan putara kedua RUU Ekstradisi ini di Dewan Legislatif Hong Kong pada Rabu, 12 Juni 2019 memicu unjuk rasa besar-besaran yang berakhir ricuh.
Pengunjuk rasa pro-demokrasi memberi tenggat pukul tiga sore agar pemerintah dan parlemen menghentikan pembahasan. Karena tidak diindahkan, mereka mulai mendobrak barikade polisi di depan gedung parlemen.
Polisi, seperti dilansir Reuters, menembakkan peluru karet dan gas air mata untuk membubarkan massa. Mereka juga menggunakan semprotan merica dan tongkat pemukul. Massa melawan dengan melempari polisi dengan botol plastik dan pembatas jalan, dan menyerang menggunakan payung. Sekitar 80 orang mengalami luka dan dirawat di rumah sakit. Tidak ada korban jiwa.
Baca juga: Empat Organisasi Jurnalis Tolak RUU Ekstradisi Hong Kong
Michael Tien, anggota parlemen Hong Kng, dan juga deputi di parlemen nasional Cina, mendesak otoritas Hong Kong agar menghentikan pembahasan RUU Ekstradisi itu, yang dinilai publik mengancam demokrasi dan kebebasan berpendapat di Hong Kong.
Ada 22 bekas pejabat pemerintah atau mantan anggota parlemen termasuk bekas Menteri Keamanan Peteri Lai Hing-ling, yang membuat pernyataan tertulis. Mereka mendesak pemerintah mendengarkan aspirasi publik dan menarik RUU itu untuk pembahasan dan perbaikan.
“Ini saatnya bagi warga Hong Kong untuk menenangkan diri. Biarkan emosi mereda sebelum dimulainya diskusi mengenai isu yang kontroversial ini. Jangan ada lagi darah tertumpah,” kata dia.
Profesor Simon Young dari Fakultas Hukum Universitas Hong Kong mengatakan RUU itu bisa menyebabkan sebagian warga memindahkan asetnya ke negara lain.
Ini karena RUU itu, jika jadi disahkan, memungkinkan otoritas di Cina meminta pengadilan di Hong Kong membekukan dan menyita aset yang diduga terkait kriminalitas di sana. Ini melebihi ketenuan yang diatur terkait uang dari kriminalitas narkoba.
“Ini cenderung diabaikan dalam debat publik Hong Kong tapi ini bagian signifikan dalam proses amandemen ini,” kata Young. “Tapi ini tidak diabaikan oleh para konglomerat dan mereka yang memberi masukan nasehat hukum.”