TEMPO.CO, Hong Kong – Pemerintah Hong Kong dan anggota parlemen pro Beijing mengatakan tidak akan segera mengesahkan RUU Ekstradisi, yang kontroversial dan mendapat penolakan luas masyarakat.
Baca juga: 5 Poin Menarik Soal Kontroversi RUU Ekstradisi Hong Kong
Sikap ini muncul setelah terjadinya aksi unjuk rasa publik besar-besaran menolak RUU yang dianggap merugikan kebebasan berpendapat dan demokrasi di wilayah semi-otonom dari Cina ini.
“Kami tentunya tidak akan melanjutkan dan mengesahkan RUU itu lewat voting pada 20 Juni 2019. Kami tidak berkeberatan membahasnya lewat dari 1 Juli,” kata seorang pejabat pemerintah seperti dilansir South China Morning Post pada Kamis, 13 Juni 2019.
Seorang pejabat pemerintah lainnya mengatakan otoritas mengevaluasi situasi di tengah masyarakat dan memutuskan sidang Dewan Legislatif pada Jumat, 14 Juni 2019.
Baca juga: Inggris Minta Hong Kong Dengarkan Aspirasi Publik Soal Ekstradisi
Ini dilakukan untuk menurunkan ketegangan setelah terjadinya bentrok fisik antara ribuan pengunjuk rasa, yang menolak pengesahan RUU itu dan polisi, yang berjaga di depan gedung parlemen.
Presiden Dewan Legislatif Hong Kong, Andrew Leung Kwan-yuen, mengatakan akan mengalokasikan waktu selama 61 jam atau dua sekitar dua setengah hari untuk memeriksa RUU itu. Sebelum ini, Leung mengatakan mengusulkan agar RUU itu disahkan paling cepat 20 Juni 2019.
Ketentuan yang menjadi masalah dan ditolak publik Hong Kong adalah aturan bahwa tersangka di wilayah itu bisa diekstradisi ke wilayah hukum lain yang tidak memiliki kerja sama ekstradisi termasuk ke Cina.
Baca juga: Unjuk Rasa Menolak RUU Ekstradisi Hong Kong Digelar di Sydney
Meskipun sebagian anggota parlemen merasa waktu yang dialokasikan untuk mengecek ketentuan dalam RUU itu masih mencukupi, mereka sekarang merasa tidak perlu segera mengesahkan RUU itu. Bahkan, parlemen bisa membahas pengesahannya melewati tenggat yang dibuat.
Kelompok pro-demokrasi menggelar pawai tahunan memperingati pengembalian Hong Kong ke Cina pada 1997. Ada dugaan, pemerintah dan anggota parlemen pro-Beijing ingin agar RUU Itu segera disahkan sebelum pawai pro-demokrasi itu berlangsung.
Parlemen Hong Kong bakal segera reses pada pertengahan Juli besok. Jika RUU itu belum disahkan pada waktu itu, maka RUU itu akan dibahas kembali seusai masa reses. Ini membuka kemungkinan terjadinya unjuk rasa besar publik yang merasa marah dan menolak pengesahan RUU itu.
Baca juga: Media Cina Tuding Barat Dukung Unjuk Rasa Hong Kong
Seperti dilansir Reuters, polisi menembaki pengunjuk rasa di Hong Kong menggunakan peluru karet, gas air mata hingga menggunakan tongkat pemukul untuk membubarkan unjuk rasa pada Rabu, 12 Juni 2019.
Ini terjadi karena pengunjuk rasa menyerang polisi menggunakan botol plastik, payung dan pagar pembatas dan meminta parlemen menghentikan pembahasan RUU Ekstradisi saat itu. Kerusuhan merebak setelah lewat pukul tiga sore, yang merupakan tenggat dari pengunjuk rasa agar pembahasan amandemen itu dihentikan.
Sebagian anggota parlemen sekarang mengatakan bahwa amandemen RUU itu merupakan ide dari pemerintah Hong Kong bukan pesanan dari Beijing. Jadi, tergantung Hong Kong soal pembahasan RUU itu. Salah satu anggota parlemen yang berpendapat seperti ini adalah Tam Yu-chung, anggota parlemen dari Cina yaitu National People’s Congress Standing Committee.
Baca juga: Unjuk Rasa Besar-besaran, Hong Kong Tutup Kantor Pemerintahan
RUU itu merupakan inisiatif dari pemerintah Hong Kong. Jadi pembahasannya tergantung pemerintah Hong Kong. Meskipun terjadi unjuk rasa besar-besaran menolak RUU ini, kantor perwakilan Beijing di Hong Kong tidak memberikan komentar apapun.