TEMPO.CO, Jakarta - Aksi protes warga Sudan pendukung demokrasi dan menolak pemerintahan militer telah mengakibatkan 35 orang tewas dan ratusan orang terluka pada hari Senin, 3 Juni 2019.
Protes kelompok pendukung demokrasi Sudan terjadi setelah Dewan Transisi Militer dianggap mencederai kesepakatan untuk mengadakan pemerintahan transisi demokrasi setelah terjadi kudeta pada April lalu. Militer Sudan menyingkirkan presiden Omar al-Bashir.
Baca Juga:
Baca juga: Tentara Sudan Mulai Gunakan Peluru Tajam Lerai Demonstran
Kelompok pro-demokrasi menuntut Dewan Transisi Militer memberi jalan bagi sipil untuk membentuk badan pemerintahan interim.
Mengutip laporan CNN, Dewan Transisi Militer yang dipimpin Abdel Fattah al-Burhan malah menyerukan penyelenggaraan pemilu dalam tempo 9 bulan.
"Cara satu-satunya untuk memerintah Sudah adalah melalui kotak suara," kata al-Burhan dalam pernyataannya di televisi pemerintah.
Dia mengatakan, pemilu akan diawasi oleh lembaga pemantau, termasuk lembaga internasional dan regional.
Para pengunjuk rasa membawa bagian belakang truk untuk mendirikan barikade saat melakukan aksi protes menuntut agar Dewan Militer menyerahkan kekuasaan kepada warga sipil di Khartoum, Sudan 3 Juni 2019. REUTERS/Stringer
Baca juga: Jenderal Pengkudeta Presiden Sudan Mundur Sehari Setelah Memimpin
Menurut al-Burhan, pemerintahan caretaker akan dibentuk untuk mengawasi jalannya pemerintahan sebelum pemilu diadakan.
Mengutip laporan Anadolu, kelompok oposisi Sudan yakni Aliansi Perubahan dan Merdeka mengumumkan penundaan pembicaraan dengan Dewan Militer Transisional setelah pasukan keamanan melakukan pembersihan atas kamp para peserta aksi protes di dekat markas angkatan bersenjata di ibukota Sudan, Khartoum.
"Kami di sini mengumumkan untuk menghentikan negosiasi dengan Dewan Militer," kata aliansi dalam pernyataannya.
Baca juga: Presiden Sudan Dilengserkan Militer, Jadi Tahanan Rumah
Kelompok oposisi ini menyerukan untuk mogok massal dan pembangkangan sipil. Masyarakat internasional dan regional diminta untuk tidak mengakui Dewan Transisi Militer, sebaliknya berdiri bersama rakyat Sudan.
Sekretaris Jenderal PBB , Antonio Guterres mengutuk kekerasan dan laporan penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh personel keamanan terhadap warga sipil yang mengakibatkan kematian dan cedera banyak orang.
Menteri Luar Negeri Inggris, Jeremy Hunt, Duta Besar Inggris di Khartoum, Irfan Siddiq dan Asisten Biro urusan Afrika Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat mengkritik kekerasan yang terjadi di Sudan.