Gaya diplomasi Pangeran MBZ berbeda dari kebanyakan bangsawan Arab lain, yang bertele-tele dan cenderung membuat tamunya menunggu. Pangeran MBZ dikenal sebagai orang dianggap memahami seni diplomasi.
Dia lulus pada usia 18 tahun dari program pelatihan perwira Inggris di Sandhurst. Dia tetap langsing dan bugar, tidak ragu bertukar dan bertanya tentang suatu hal kepada tamu kehormotan, dan tidak pernah datang terlambat untuk rapat.
Para pejabat Amerika selalu menggambarkannya sebagai orang yang ringkas, ingin tahu, bahkan rendah hati. Dia menuangkan kopinya sendiri, dan untuk mengilustrasikan cintanya pada Amerika, kadang-kadang memberi tahu tamu negaranya bahwa dia membawa cucu-cucunya ke Disney World.
Dia meluangkan waktu untuk pejabat Amerika berpangkat rendah dan menyambut pejabat senior di bandara. Dengan senyum malu-malu dan pemalu, dia akan menawarkan tur ke negaranya, kemudian naik helikopter untuk menerbangkan tamunya melewati gedung pencakar langit dan laguna di Dubai dan Abu Dhabi.
"Selalu ada kejutan dari MBZ," kenang Marcelle Wahba, mantan duta besar Amerika untuk Uni Emirat Arab.
Di ibu kota, Abu Dhabi, ia mengawasi konstruksi raksasa di bekas garis pantai di belakang pulau-pulau buatan.
Salah satunya dimaksudkan untuk menjadi distrik keuangan seperti Wall Street. Lainnya termasuk kampus Universitas New York hingga waralaba Louvre.
Ketika dia bertemu orang Amerika, Pangeran Mohammed menekankan hal-hal yang membuat Uni Emirat Arab lebih liberal daripada tetangga mereka. Perempuan memiliki lebih banyak peluang: Sepertiga menteri kabinetnya adalah perempuan.
Baca juga: Tiba di Uni Emirat Arab, Paus Fransiskus Cetak Sejarah
Tidak seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab mengizinkan gereja-gereja Kristen dan kuil Hindu atau Sikh, sebagian untuk mengakomodasi tenaga kerja asing yang luas. UEA diperkirakan memiliki sembilan juta penduduk, tetapi kurang dari satu juta warga karena sisanya adalah pekerja asing.
Untuk menekankan liberalisme UEA, sang pangeran tahun lalu menciptakan Kementerian Toleransi dan menyatakan tahun 2019 sebagai "Tahun Toleransi." Ia telah menjadi tuan rumah Olimpiade Khusus dan Paus Fransiskus.
"Saya pikir dia telah melakukan pekerjaan yang mengagumkan bukan hanya dalam mendiversifikasi ekonomi tetapi juga mendiversifikasi sistem pemikiran penduduk," kata Jenderal John R. Allen, mantan komandan Amerika Serikat dan pasukan NATO di Afganistan, yang sekarang menjadi kepala Brookings Institution. Jenderal Allen adalah penasihat Kementerian Pertahanan Uni Emirat Arab.
Putra Mahkota Abu Dhabi Sheikh Mohammed bin Zayed al-Nahyan tersenyum ketika dia duduk dengan Presiden AS Donald Trump ketika mereka bertemu di Kantor Oval di Gedung Putih di Washington. [Yeni Safak]
Uni Emirat Arab adalah federasi kecil negara-kota, namun Abu Dhabi sendiri menyumbang 6 persen dari cadangan minyak dunia, menjadikannya target yang menggoda bagi tetangga yang lebih besar seperti Iran. Pada tahun 1971, ketika UEA memperoleh kemerdekaan dari Inggris, Shah Iran merebut tiga pulau Teluk Persia yang disengketakan.
Uni Emirat Arab mulai mengizinkan pasukan Amerika untuk beroperasi dari pangkalan-pangkalan di dalam negara itu selama perang Teluk Persia tahun 1991. Sejak itu, pasukan komando dan pasukan udara Uni Emirat Arab di bawah komando Pangeran Mohammed bin Zayed telah dikerahkan bersama Amerika di Kosovo, Somalia, Afganistan dan Libya, serta melawan ISIS.
Dia telah merekrut komandan-komandan Amerika untuk menjalankan militer dan mantan mata-matanya untuk mendirikan dinas intelijennya. Dia juga memperoleh lebih banyak persenjataan dalam empat tahun sebelum 2010 daripada gabungan lima monarki Teluk lainnya, termasuk 80 pesawat tempur F-16, 30 helikopter tempur Apache, dan 62 jet Mirage Prancis.
Beberapa perwira Amerika menggambarkan Uni Emirat Arab sebagai "Sparta kecil".
Baca juga: Pangeran Uni Emirat Arab Membelot ke Qatar
Dengan saran dari mantan komandan militer terkemuka termasuk mantan Menteri Pertahanan AS James Mattis dan Jenderal Allen, Pangeran Mohammed bin Zayed bahkan telah mengembangkan industri pertahanan Uni Emirat Arab, memproduksi kendaraan lapis baja amfibi yang dikenal sebagai The Beast dan yang lainnya yang sudah ia berikan kepada klien di Libya dan Mesir.
Pangeran Mohammed bin Zayed sering mengatakan kepada para pejabat Amerika bahwa ia melihat Israel sebagai sekutu Uni Emirat Arab melawan Iran dan Ikhwanul Muslimin, sehingga Israel cukup mempercayainya untuk menjual upgrade untuk F-16, serta spyware ponsel canggih.
Bagi banyak orang di Washington, Pangeran Mohammed bin Zayed telah menjadi sahabat terbaik Amerika di kawasan Teluk, dan menjadikan Uni Emirat Arab sebagai mitra yang dapat diandalkan untuk melawan pengaruh Iran di Lebanon hingga mendanai pembangunan di Irak.