Laporan baru Amnesty International mengungkap bukti pelanggaran yang dilakukan oleh pasukan militer yang terlibat dalam kejahatan kekejaman di masa lalu, termasuk divisi dan batalion khusus di bawah Komando Barat.
Amnesty International telah mengkonfirmasi lebih lanjut bahwa unit-unit yang baru dikerahkan dari Divisi Light Infantri ke-22 dan ke-55 (LID) bertanggung jawab atas banyak pelanggaran baru ini.
Dari wawancara dan bukti lain, termasuk citra satelit, Amnesty International mendokumentasikan tujuh serangan melanggar hukum yang menewaskan 14 warga sipil dan melukai sedikitnya 29 lainnya.
Baca juga: Indonesia Diminta Terus Suarakan Genosida Rohingya di Myanmar
Sebagian besar serangan ini tidak pandang bulu, dan beberapa mungkin merupakan serangan langsung terhadap warga sipil. Dalam satu insiden pada akhir Januari, seorang bocah lelaki etnis Rakhine berusia tujuh tahun meninggal setelah mortir yang ditembakan oleh militer Myanmar meledak di desa Tha Mee Hla, Kotapraja Rathedaung, selama pertempuran antara militer dan Arakan Army.
Meskipun bocah itu terluka parah, butuh beberapa jam sebelum tentara Myanmar memberi izin keluarganya untuk membawanya ke rumah sakit. Namun dia meninggal pada hari berikutnya.
Dalam insiden lain pada pertengahan Maret, sebuah mortir militer Myanmar meledak di desa Ywar Haung Taw, Kotapraja Mrauk-U, melukai setidaknya empat orang dan menghancurkan sebuah rumah milik Hla Shwe Maung, seorang pria etnis Rakhine berusia 37 tahun.
Gambar dari satelit DigitalGlobe pada 2 Desember 2017, menunjukkan desa Myin Hlut, yang berada sekitar 25 kilometer (15 mil) Tenggara Maungdaw, negara bagian Rakhine, Myanmar. Gambar satelit ini menunjukkan bahwa puluhan desa dan dusun telah benar-benar diratakan oleh pihak berwenang yakni militer Myanmar. Operasi brutal pada Agustus lalu membuat ratusan ribu orang Rohingya mengungsi ke Bangladesh. (DigitalGlobe via AP)
Tinjauan citra satelit mengkonfirmasi kehancuran sebuah bangunan di desa Ywar Haung Taw, serta kehadiran artileri baru di pangkalan polisi di dekatnya.
Pada 3 April 2019, sebuah helikopter militer menembaki para pekerja Rohingya yang sedang memotong bambu, menewaskan sedikitnya enam pria dan anak lelaki dan melukai setidaknya 13 lainnya.
Amnesty International juga mendokumentasikan bagaimana militer mengambil posisi di dalam kompleks kuil kuno Mrauk-U dan menembak secara membabi buta.
Citra satelit mengkonfirmasi keberadaan artileri yang dekat dengan kuil, dan foto-foto menunjukkan perusakan situs kuil.
Amnesty International lebih lanjut mendokumentasikan tujuh kasus penangkapan sewenang-wenang di Negara Bagian Rakhine sejak Januari 2019.
Baca juga: Pembunuhan 10 Laki-laki Rohingya, 7 Tentara Myanmar Dibebaskan
Amnesty International juga mendokumentasikan penghilangan paksa enam orang: satu etnis Mro dan lima etnis Rakhine, pada pertengahan Februari. Seorang saksi mengatakan dia terakhir melihat salah satu pria dalam tahanan militer. Sejak itu, keluarga tidak memiliki informasi tentang nasib dan keberadaan orang yang mereka cintai.
Lebih dari 30.000 orang telah terlantar dalam kekerasan terakhir selama operasi militer Myanmar di Rakhine, namun pihak berwenang Myanmar telah memblokir akses kemanusiaan ke daerah-daerah yang terkena dampak.