TEMPO.CO, Jakarta - Ribuan masyarakat Irak pada Jumat, 24 Mei 2019, mendesak para politikus negara itu dan para ketua fraksi agar menjauh dari konflik yang sedang terjadi antara Iran dan Amerika Serikat. Kedua negara itu adalah sekutu-sekutu terbesar Irak.
Dikutip dari reuters.com, mereka yang turun ke jalan meneriakkan kalimat 'jangan ada perang'. Aksi ini dilakukan di pusat kota Bagdad dan wilayah selatan kota Basra.
Masyarakat Irak saat ini sangat waswas negara mereka akan terperangkap dalam ketegangan yang sedang terjadi antara Iran dan Amerika Serikat yang sepanjang bulan ini semakin memburuk. Terlebih setelah Presiden Donald Trump mengirimkan sejumlah pasukan militer tambahan ke Timur Tengah untuk menangkal apa yang mereka sebut ancaman, termasuk dari Iran yang didukung oleh militan-militan garis keras Irak.
Baca juga:Ketegangan dengan Iran, Donald Trump Berlakukan Darurat Nasional
Masyarakat Irak meminta pemerintah negara itu tidak ikut campur dalam konflik Iran - Amerika Serikat. Sumber: Reuters
Baca juga: Iran Terancam Berperang dengan AS, Apa Reaksi Penduduk Teheran?
Politikus dan para pemimpin parlemen Irak sebelumnya telah menyerukan agar Iran dan Amerika Serikat bersikap tenang. Pemerintah Irak saat ini mencoba memposisikan sebagai mediator bagi Iran - Amerika Serikat.
"Kami baru saja pulih dari serangan kelompok ISIS. Irak tak boleh digunakan sebagai pangkalan untuk melukai negara mana pun. Amerika Serikat sepertinya tidak mau Irak stabil," kata Abu Ali Darraji, warga Irak yang melakukan protes.
Ulama terkenal Irak Moqtada al-Sadr awalnya dijadwalkan akan berbicara dengan demonstran di kota Bagdad, namun nyatanya dia tak muncul. Dalam politik Irak, Sadr dikenal menentang Washington dan kelompok syiah Iran.
Amerika Serikat menggambarkan Sadr sebagai orang paling berbahaya di Irak dan membentuk sebuah kelompok militan Mehdi Army, yang menjadi ancaman besar bagi pasukan militer Amerika Serikat saat melakukan invasi militer ke Irak pada 2003 silam. Pada tahun lalu, Sadr dalam kampanyenya menentang campur tangan Amerika Serikat dan Iran di Irak.