TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom mengatakan jatuhnya Venezuela adalah keruntuhan ekonomi tunggal terbesar di luar perang dalam 45 tahun terakhir, bahkan melebihi krisis di Uni Soviet, Kuba dan Zimbabwe.
"Sangat sulit untuk memikirkan tragedi manusia dalam skala ini di luar perang saudara," kata Kenneth Rogoff, seorang profesor ekonomi di Universitas Harvard dan mantan kepala ekonom di IMF, dikutip dari New York Times, 18 Mei 2019.
"Ini akan menjadi batu ujian kebijakan-kebijakan bencana untuk beberapa dekade mendatang," tambahnya.
Untuk menemukan tingkat kehancuran ekonomi yang serupa, para ekonom di IMF menunjuk ke negara-negara yang terkoyak oleh perang, seperti Libya awal dekade ini atau Lebanon pada 1970-an.
Baca juga: Kronologi Krisis Venezuela dan Manuver Oposisi Hadapi Maduro
Namun Venezuela, pada titik tertentu adalah negara terkaya Amerika Latin, belum dihancurkan oleh konflik bersenjata. Sebaliknya, para ekonom mengatakan, tata kelola yang buruk, korupsi dan kebijakan Presiden Nicolas Maduro yang salah arah dan pendahulunya, Hugo Chavez, telah memicu inflasi yang tak terkendali, menutup bisnis dan membuat negara runtuh.
Dan dalam beberapa bulan terakhir, pemerintahan Trump telah menjatuhkan sanksi keras untuk mencoba melumpuhkannya lebih lanjut lagi.
Ketika ekonomi negara itu anjlok, geng-geng bersenjata menguasai seluruh kota, layanan publik terpuruk dan daya beli sebagian besar rakyat Venezuela telah berkurang menjadi beberapa kilogram tepung per bulan.
Di pasar, tukang daging dilanda pemadaman listrik dan berebutan menjual simpanan yang membusuk. Mantan buruh mengais tumpukan sampah untuk sisa makanan dan plastik daur ulang. Pengecer yang kecewa melakukan lusinan perjalanan ke bank dengan harapan menyetor beberapa mata uang yang tidak bernilai karena hiperinflasi.
Orang-orang berbelanja jeroan tanpa daging dan produk sampingan daging sapi lainnya di pasar loak di Maracaibo, Venezuela.[Meridith Kohut/The New York Times]
Di Maracaibo, sebuah kota berpenduduk dua juta di perbatasan dengan Kolombia, hampir semua tukang daging di pasar utama telah berhenti menjual potongan daging dan menggantinya dengan jeroan dan sisa makanan seperti serutan lemak dan kuku sapi, satu-satunya protein hewani yang masih mampu dibeli warga.
Krisis ini diperparah oleh sanksi Amerika yang dimaksudkan untuk memaksa Maduro menyerahkan kekuasaan kepada pemimpin oposisi negara itu, Juan Guaido. Sanksi baru-baru ini dari pemerintahan Trump terhadap perusahaan minyak negara Venezuela telah mempersulit pemerintah untuk menjual komoditas utamanya, minyak.
Bersamaan dengan larangan Amerika untuk memperdagangkan obligasi Venezuela, pemerintah telah mempersulit Venezuela untuk mengimpor barang, termasuk makanan dan obat-obatan.
Baca juga: 3 Kondisi Memprihatinkan di Venezuela
Maduro menyalahkan kelaparan yang meluas dan kurangnya pasokan medis kepada Amerika Serikat dan sekutu-sekutu oposisi, tetapi sebagian besar ekonom independen mengatakan resesi dimulai bertahun-tahun sebelum sanksi, yang paling mempercepat keruntuhan.
"Kami sedang berjuang keras melawan sanksi internasional yang telah membuat Venezuela kehilangan setidaknya US$ 20 miliar (Rp 290 triliun) pada tahun 2018," kata Maduro mengatakan kepada para pendukungnya dalam pidato baru-baru ini.
"Mereka mengejar rekening bank kami, pembelian kami di luar produk apa pun. Itu lebih dari sebuah blokade, itu adalah penganiayaan," tambahnya.
Venezuela memiliki cadangan minyak terbesar di dunia. Tetapi output minyaknya, yang pernah menjadi terbesar di Amerika Latin, telah jatuh lebih cepat dalam satu tahun terakhir daripada Irak setelah invasi Amerika pada tahun 2003, menurut data dari Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak atau OPEC.
Baca juga: Warga Venezuela Mengais Keranjang Sampah Demi Dapat Makanan
Venezuela telah kehilangan sepersepuluh penduduknya dalam dua tahun terakhir ketika orang-orang melarikan diri, bahkan melakukan perjalanan melintasi pegunungan, memicu krisis pengungsi terbesar di Amerika Latin.
Hiperinflasi Venezuela, yang diperkirakan akan mencapai 10 juta persen tahun ini menurut IMF, menjadi periode kenaikan harga terpanjang sejak di Republik Demokratik Kongo pada 1990-an.
"Ini pada dasarnya adalah keruntuhan total konsumsi," kata Sergi Lanau, wakil kepala ekonom di Institute of International Finance, sebuah asosiasi perdagangan keuangan.
Lembaga memperkirakan bahwa penurunan dalam output ekonomi Venezuela di bawah Maduro telah mengalami penurunan paling tajam oleh negara mana pun yang tidak berperang sejak setidaknya 1975.