TEMPO.CO, Jakarta - Parlemen Austria pada Rabu, 15 Mei 2019, mensahkan peraturan yang melarang penggunaan jilbab di tingkat Sekolah Dasar (SD). Undang-Undang (UU) itu mendapat dukungan dari mayoritas sayap kanan Eropa.
Melalui peraturan baru itu, maka murid-murid SD tidak boleh lagi memakai pakaian symbol agama atau ideologi tertentu, termasuk pemakaian penutup kepala atau jilbab. Parlemen Austria secara spesifik menulis tidak boleh menggunakan penutup kepala yang menutupi rambut atau sebagian besar.
Baca juga: Denmark Mengesahkan Larangan Mengenakan Burqa dan Niqab
Perban yang menutup luka di kepala, dan pelindung hujan atau salju boleh untuk digunakan. Aturan baru itu, juga membolehkan penggunaan kippahs, topi khas pemeluk Yahudi dan Sikh patkas atau turban.
Komunitas Iman Islam Austria (IGGO) menyatakan keberatan atas penetapan aturan baru tersebut dan akan membawa kasus ini ke Mahkamah Konstitusi di ibu kota Wina. IGGO merupakan komunitas muslim yang di akui pemerintah Austria.
Baca juga: PBB: Larangan Pakai Cadar di Prancis Melanggar HAM
"Larangan jilbab di SD hanya akan menyebabkan pemisahan dan diskriminasi perempuan-perempuan Muslim. Kami akan membawa hukum diskriminatif ini ke Mahkamah Konstitusi," tulis IGGO dalam pernyataannya, Kamis, 16 Mei 2019.
Pemberlakuan undang-undang ini, didukung anggota parlemen koalisi pemerintah aliran sayap kanan konservatif, Kanselir Austria Sebastian Kurz dari Partai Rakyat Austria (OVP) dan Partai Kebebasan Austria (FPO) yang menguasai 60 persen suara parlemen.
Sedangkan kubu oposisi Austria secara tegas menolak aturan ini karena karena dinilai sebagai aksi populis. Mantan Menteri Pendidikan Austria sekaligus anggota Partai Demokrat Sosial, mempertanyakan efektivitas larangan tersebut dan menurutnya ini hanya untuk mencari pemberitaan. Partai Demokrat Sosial adalah kelompok oposisi di Austria.
Suara penolakan juga disampaikan anggota legislatif sayap kiri lainnya yang berasal dari Partai Jetzt, Stephanie Cox. Dia mengatakan pemberlakuan undang-undang ini sebagai tindakan populis yang menargetkan agama minoritas di Austria.
Irmgard Griss, Anggota Parlemen dari Partai Neos yang berfaham liberal mengungkapkan kelemahan dari larangan tersebut karena tidak ada ada penelitian kalau menggunakan jilbab bisa membatasi kemampuan murid. Akan tetapi dia mengatakan para perempuan muslim bertanggung jawab atas kebijakan Iran dan Arab Saudi yang mengharuskan perempuan menggunakan jilbab.
Menjawab suara-suara penolakan tersebut, Rudolf Taschner dari Partai Rakyat Austria mengatakan, undang-undang itu untuk membebaskan para perempuan muslim dari hinaan karena jilbab dianggap simbol penindasan.
Pada 2017, tercatat ada sekitar 700 ribu Muslim yang tinggal di Austria atau sekitar 8 persen dari total populasi. Sebagian dari jumlah tersebut pendatang dari Turki yang ke Austria untuk bekerja pada 1960-an dan 1970-an dan menetap hingga saat ini.
RT.com | REUTERS | EKO WAHYUDI