TEMPO.CO, Jakarta - Pemberontak Houthi mengatakan mereka memulai penarikan pasukan dari pelabuhan-pelabuhan utama di provinsi Hodeidah, Yaman.
Penarikan yang lama tertunda ini adalah realisasi di bawah syarat-syarat perjanjian damai yang diperantarai PBB, demi mengakhiri perang saudara empat tahun Yaman.
Baca: Yaman Merugi Rp 700 Triliun Akibat Perang
Menurut laporan Al Jazeera, yang dikutip pada 12 Mei 2019, Mohammed Ali al-Houthi, kepala Komite Revolusi Tertinggi Houthi mengatakan, penarikan dari Hodeidah serta pelabuhan Saleef dan Ras Issa dimulai pada Sabtu pukul 10 pagi waktu setempat.
Saluran TV Al Masirah yang dikelola Houthi mengatakan para pengamat PBB sedang memantau penempatan kembali pasukan yang diperkirakan akan memakan waktu empat hari.
Reuters melaporkan, mengutip seorang saksi mata, bahwa tim-tim PBB mengawasi kepergian Houthi dari Saleef dan Ras Issa.
Hodeidah, kota pelabuhan terbesar di Yaman saat ini dikuasai milisi Houthi. [GeorgekhouryUN/Twitter]
Saksi mengatakan penjaga pantai Yaman telah mengambil komando operasi di Saleef setelah selusin truk membawa pejuang Houthi, dipersenjatai dengan peluncur granat berpeluncur roket dan senapan mesin, berangkat dari pelabuhan.
Namun, seorang pejabat senior pro pemerintah, mengklaim Houthi memalsukan penarikan diri mereka.
Baca: Dagang Ginjal Warga Yaman Marak di Mesir Libatkan Diplomat
"Houthi sedang melakukan taktik baru dengan menyerahkan pelabuhan Hodeidah, Saleef dan Ras Issa kepada diri mereka sendiri tanpa pengawasan oleh PBB dan pihak pemerintah," kata gubernur provinsi Al-Hasan Taher.
Baca: Kenapa Yaman Dilanda Perang?
Moammar al-Eryani, menteri informasi pemerintah Yaman yang diakui secara internasional, juga menampik penarikan pasukan tersebut dan menuduh itu merupakan upaya untuk mengelabui masyarakat internasional.
"Apa yang terjadi hari ini adalah pertunjukan mencolok, sekelompok milisi Houthi meninggalkan kota dan mereka digantikan oleh orang lain yang mengenakan seragam polisi penjaga pantai Yaman," kata al-Eryani.