TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Agung Filipina memerintahkan pemerintahan Rodrogo Duterte dan lembaga keamanan untuk melindungi lingkungan di wilayah sengketa Laut Cina Selatan.
Perintah ini menyusul keluhan yang disampaikan nelayan Filipina atasu aktivitas ilegal Cina.
Menurut laporan Reuters, 4 Mei 2019, Mahkamah Agung mengatakan telah mengeluarkan surat perintah yang menginstruksikan para kepala kementerian utama, penjaga pantai, angkatan laut dan polisi untuk menegakkan konvensi internasional dan hukum domestik untuk melindungi terumbu karang dan kehidupan laut di Zona Ekonomi Eksklusif (EEZ) 321 kilometer laut Filipina.
Baca: Tensi di Laut Cina Selatan, 2 Kapal Perang Rusia Tiba di Filipina
Perintah ini, menurut kritikus, merupakan tantangan langka oleh mahkamah agung terhadap penyerahan diri Presiden Rodrigo Duterte pada ekspansionisme dan militerisasi Cina di Laut Cina Selatan, sebagai imbalan atas insentif ekonomi yang dijanjikan.
Mahkamah agung menanggapi sebuah petisi oleh komunitas nelayan dari dua provinsi yang menuduh bahwa pembangunan pulau oleh Cina dan praktik penangkapan ikan Cina merupakan pelanggaran terhadap putusan tahun 2016 oleh Pengadilan Arbitrase Permanen, dalam kasus yang diajukan dan dimenangkan oleh Filipina.
Duterte telah dituduh menghambur-hamburkan keuntungan dari keputusan penting itu dengan menyerah pada tuntutan strategis Cina, dengan harapan mendapatkan miliaran dolar pinjaman dan investasi.
Baca: Duterte Minta Pasukan Bersiap Hadapi Cina Terkait Pulau Thitu
Perintah yang dikeluarkan pada Jumat oleh Mahkamah Agung mencakup tiga wilayah yang disengketakan, Shoal Scarborough, Shoal Thomas Kedua yang diduduki Filipina, dan Karang Mischief, salah satu dari tiga karang yang telah dikonversi oleh Tiongkok menjadi pulau-pulau buatan yang dilengkapi dengan radar, bunker, dan rudal permukaan ke udara.
Mahkamah agung tidak memberikan jangka waktu dan tidak mengatakan bagaimana pihak berwenang harus menegakkan hukum.
Menteri kehakiman dan juru bicara presiden tidak segera menanggapi permintaan Reuters untuk mengomentari perintah pengadilan.
Putusan itu menambah krisis kebijakan luar negeri terbesar Duterte di masa kepresidenannya, ketika Cina memperketat kontrolnya atas jalur air strategis di mana lebih dari US$ 3 triliun (Rp 42.745 triliun) dalam perdagangan dihasilkan setiap tahun melalui perairan ini.
Presiden Filipina Rodrigo Duterte, dan Presiden Cina Xi Jinping berjabat tangan setelah upacara penandatanganan di Beijing, Cina, 20 Oktober 2016. AP Photo
Jajak pendapat secara konsisten menunjukkan bahwa popularitas besar Duterte di antara orang-orang Filipina tidak banyak mengubah perasaan ketidakpercayaan terhadap Cina.
Duterte membantah mengalah ke Beijing tetapi berpendapat tidak ada gunanya dan berbahaya untuk menantang kekuatan militer yang lebih unggul.
Dia bertemu Presiden Cina Xi Jinping pada pertemuan puncak di Cina bulan lalu dan, menurut para pembantu Duterte, menyuarakan oposisi terhadap gerombolan kapal penangkap ikan Cina di dekat pulau yang disengketakan yang ditempati oleh Filipina.
Baca: Filipina Protes Kehadiran Ratusan Kapal Cina
Abdiel Fajardo, presiden Integrated Bar of Philippines, organisasi pengacara Filipina, mengatakan surat itu menegaskan putusan arbitrase dan secara efektif mengingatkan pihak berwenang bahwa mereka memiliki kewajiban untuk mengikuti konstitusi dan hukum domestik.
"Filipina, setidaknya melalui pengadilan, tidak melepaskan haknya atas mereka dengan menyetujui tindakan sepihak negara lain," katanya dalam sebuah pesan teks.