TEMPO.CO, Jakarta - Polisi Prancis mengejar para kelompok demonstran anarkis berpakaian hitam saat peringatan May Day 2019 di Paris yang berakhir ricuh.
Polisi berupaya membubarkan massa dengan rentetan tembakan gas air mata. Jendela-jendela toko dipecahkan selama pawai, yang membentang di Tepi Kiri ibu kota. Kelompok vandal melempar batu ke arah kantor polisi namun gagal memasukinya.
Menurut laporan The New York Times, 2 Mei 2019, media Prancis memperkirakan 40.000 massa dari Rompi Kuning, serikat pekerja dan kelompok vandalisme turun ke jalan, sementara polisi berjumlah 28.000.
Baca: Prancis Antisipasi Kerusuhan May Day 2019 oleh Aktivis Radikal
Kerusuhan selalu menyertai demonstrasi May Day di Prancis, tetapi tahun ini pemerintah telah memperingatkan bahwa risikonya lebih tinggi karena demonstrasi akan menyatukan unsur-unsur kelompok dari gerakan Rompi Kuning, militan buruh dan mereka yang disebut Black Blocs atau Blok Hitam, kelompok internasional anarkis dan anti-kapitalis berpakaian hitam yang menghancurkan banyak jendela toko tahun lalu.
Tahun ini, para pengikut Blok Hitam menyerukan di media sosial untuk menghadiri sebuah pertemuan massal di Paris pada May Day, dari seluruh Eropa.
Para pejabat mengatakan bahwa sebanyak 2.000 demonstran Blok Hitam telah diharapkan. Beberapa demonstran meneriakkan slogan antikapitalis, mengibarkan bendera dengan palu dan sabit Soviet, dan memegang plakat mendukung Julian Assange dan Palestina.
Di jejaring sosial, beberapa aktivis menyerukan untuk mengubah Paris menjadi "Riot Capital" atau ibu kota kerusuhan.
Baca: Unjuk Rasa Hari Buruh di Prancis Berlangsung Ricuh
Namun polisi antihuru-hara yang dikerahkan tampaknya menutup-nutupi kekerasan, tidak seperti pada beberapa demonstrasi Rompi Kuning musim gugur yang lalu ketika para demonstran mengepung Paris.
Pukul 3 malam di ibu kota pada hari Rabu, sekitar 200 demonstran telah ditangkap, dan polisi mengeluarkan pernyataan di Twitter memberi selamat kepada lembaga mereka sendiri atas intervensi cepat dan efisien.
Namun pengulangan kekerasan yang telah menjadi ciri kehidupan Paris sejak musim gugur yang lalu. Jendela-jendela toko ditutup, jalan-jalan yang dikosongkan dari warga, kehadiran polisi bersenjata berat, melambangkan ketegangan sosial dan ekonomi yang terus-menerus melanda Prancis, di mana pemerintah gagal meredamnya.
Polisi Prancis menangkap para demonstran selama unjuk rasa May Day dengan serikat buruh Prancis dan demonstran Rompi Kuning di Paris, Prancis, 1 Mei 2019. [REUTERS / Philippe Wojazer]
Presiden Emmanuel Macron telah mencoba untuk menenangkan Rompi Kuning pada konferensi pers pekan lalu dengan janji menurunkan pajak dan meningkatkan pensiun. Langkah-langkah ini, bersama dengan konsesi sebelumnya, diperkirakan akan menelan biaya pemerintah sekitar US$ 19 miliar atau sekitar Rp 270 triliun.
Tetapi Rompi Kuning, gerakan yang dinamakan dari rompi pengemudi di Prancis, sebagian besar telah menolak proposal Macron, dan serikat pekerja Prancis mengejek Macron menghabiskan hari Rabu di Istana Élysée menerima anggota serikat perdagangan makanan Prancis dengan prasmanan mewah.
Setelah bentrokan pecah pada hari Rabu, pengunjuk rasa mengatakan bahwa polisi lebih agresif daripada mereka selama minggu-minggu pertama demonstrasi Rompi Kuning.
Baca: Unjuk Rasa Hari Buruh di Prancis Diikuti 160 Ribu Orang
Televisi Prancis menyiarkan gambar-gambar petugas kepolisian yang menyerbu demonstran dengan kekerasan sembari memegang pentungan mereka.
"Tidak ada yang berubah, ini adalah 1 Mei tetapi kami sedang ditekan dengan kekerasan yang sama," kata Jerome Rodrigues, seorang tokoh terkenal dari gerakan Rompi Kuning yang terluka di mata kanan oleh peluru karet pada May Day tahun ini.
Para pemrotes Rompi Kuning menghindari mengaitkan gerakan mereka dengan serikat pekerja, yang pada hari Rabu memimpin pawai May Day. Tetapi beberapa pengunjuk rasa mengutuk Blok Hitam dan mencemooh mereka yang melemparkan benda-benda ke polisi selama unjuk rasa May Day 2019 di Prancis.