TEMPO.CO, Paris – Puluhan pengunjuk rasa bertopeng dan mengenakan jaket berpenutup kepala terlibat bentrokan dengan polisi anti-huru hara di bagian selatan ibu kota Paris, Prancis pada peringatan Hari Buruh atau May Day, Rabu, 1 Mei 2019.
Baca:
Para pengunjuk rasa ini membakar tempat sampah, merusak properti disekitar, dan melempari polisi dengan benda keras. Mereka mencoba memanfaatkan peringatan Hari Buruh untuk memprotes kebijakan Presiden Prancis, Emmanuel Macron.
“Skenario saat ini merupakan skandal dan tidak pernah terjadi. Ini tidak bisa diterima dalam sistem demokrasi,” kata pengurus serikat kerja berhaluan kiri CGT pada 1 Mei 2019 seperti dilansir Reuters.
Baca:
Pengurus serikat pekerja ini mengatakan sekretaris jenderal organisasi ini terkena lemparan gas air mata oleh petugas.
Ribuan warga mulai turun ke jalan untuk melakukan unjuk rasa pada peringatan Hari Buruh May Day pada 1 Mei 2019.
Puluhan ribu orang dari serikat pekerja dan pengunjuk rasa rompi kuning turun ke jalan di seluruh Prancis. Mereka berunjuk rasa beberapa hari setelah Macron meluncurkan paket kebijakan termasuk pengurangan pajak senilai 5 miliar euro atau sekitar Rp80 triliun.
Ini merupakan respon pemerintah atas unjuk rasa selama sekitar enam bulan terkait rencana kenaikan pajak bahan bakar minyak, yang diprotes warga.
Baca:
Polisi anti-huru hara terlihat menggunakan gas air mata dan meriam air untuk membubarkan kumpulan massa di ibu kota Paris. Mereka menyasar kelompok massa yang terlihat menggunakan penutup wajah, yang lalu terlihat membaur dengan buru yang sedang memperingati Hari Buruh.
Sekitar 7.400 polisi diturunkan dan telah menahan 200 orang. Beberapa orang terluka ringan akibat bentrok dengan petugas.
Ada tiga kelompok massa yang diperkirakan bergabung pada unjuk rasa ini yaitu aktivis serikat buruh, pengunjuk rasa rompi kuning, dan kelompok pengacau garis keras, yang gemar melakukan tindak kekerasan perusakan saat berunjuk rasa.
Baca:
Menteri Dalam Negeri, Christophe Castaner, mengatakan beberapa kelompok di sosial media mendesak pengunjuk rasa untuk mengubah Paris menjadi ibu kota kerusuhan. Polisi bersiaga mengantisipasi datangnya sekitar 2000 pengunjuk rasa di Paris dengan tujuan menimbulkan kerusuhan.
“Berdasarkan informasi yang kami miliki, ada sekitar 1000 sampai 2000 aktivis radikal, yang bisa diperkuat oleh individu dari luar negeri, yang akan mencoba menyebarkan kerusuhan dan tindak kekerasan,” kata Castaner dalam jumpa pers seperti dilansir Channel News Asia pada Rabu, 1 Mei 2019.
Sebagian pengunjuk rasa ini adalah kelompok pemuda anti-kapitalis yang disebut sebagai black blocs. Mereka kerap mengenakan pakaian hitam dan penutup wajah.
Menurut Castaner, polisi Prancis mulai melakukan pendekatan pre-emptive dengan melakukan penggeledahan terhadap orang-orang yang berencana untuk melakukan unjuk rasa. Taktik ini diizinkan oleh undang-undang baru sebagai respon atas tindak kekerasan yang muncul selama unjuk rasa rompi kuning.