TEMPO.CO, Tripoli – Pasukan pemerintahan Libya dukungan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB bersiaga menghadapi agresi militer sepihak oleh pasukan Jenderal Khalifa Haftar.
Baca:
Amerika Menolak Serangan Terhadap Tripoli Libya
Kepala pemerintahan Libya atau Government of National Accord, Fayez al-Sarraj, menuding Haftar, yang berbasis di Kota Benghazi, telah berkhianat dengan menyerang ibu kota Tripoli.
Padahal, kedua pihak telah sepakat untuk menggelar pemilu dan membentuk pemerintahan yang memiliki legitimasi.
“Kami telah mengulurkan tangan untuk perdamaian. Tapi setelah agresi yang dilakukan pasukan Haftar dan deklarasi perang terhadap kota dan ibu kota kami, dia akan menghadapi kekuatan dan keteguhan pasukan kami,” kata Fayez al-Sarraj, yang merupakan kepala pemerintahan Kesepakatan Nasional dukungan PBB seperti dilansir Al Jazeera pada Ahad, 7 April 2019.
Baca:
Berikut kronologi beberapa peristiwa penting di Libya pasca tewasnya diktator Libya, Kolonel Moammar Gaddafi pada 2011 seperti dilansir situs Usip.org:
Februari 2019
Kepala pemerintahan Libya Fayez al-Sarraj bertemu dengan Jenderal Khalifa Haftar di Abu Dhabi sebagai lanjutan dari pertemuan November 2018. Keduanya sepakat untuk menggelar pemilu dan menjaga stabilitas negara. Ada rencana PBB akan menggelar konferensi pada awal 2019 untuk menyiapkan pemilu.
Juli 2017
Pasukan pemerintah GNA dan pasukan LNA pimpinan Haftar bersepakat gencatan senjata. Keduanya sepakat pemilu digelar pada pertengahan 2018. Namun, terjadi kebuntuan pada pembicaraan lanjutan pada Oktober 2017. Saat itu, Haftar secara sepihak menyatakan kesepakatan sejak 2015 batal dan GNA tidak berfungsi.
Baca:
April 2016
Pasukan pemerintah GNA mulai menyerang pasukan teroris ISIS pada April 2016 dengan nama operasi Tembok Kokoh atau Al Bunyan Al Marsoos. Ini untuk mengusir pasukan ISIS di Kota Sirte, yang jadi kota kelahiran Gaddafi. Sedangkan pasukan Haftar menyerang ISIS di Kota Derna. ISIS kehilangan Sirte dan Derna pada Desember 2016.
Desember 2014
Muncul kelompok milisi ISIS di Kota Derna bagian timur. Mereka menyebar di daerah Fezzan dan Sirte. Desember 2015 PBB berupaya menyatukan faksi timur dan barat di Libya ke dalam Government of National Accord. Awalnya inisiatif ini sempat ditolak faksi di Tripoli dan Tobruk. Awal 2016, GNA mulai buka kantor di Tripoli. Namun, faksi militer di timur masih enggan menerima GNA yang disponsori PBB. Ini meningkat menjadi konflik.
Baca:
Januari 2014
Terjadi kebuntuan politik di parlemen Libya, yang dibentuk dari hasil pemilu 2012. Ini membuat pemerintahan pecah dengan satu berbasis di Tripoli dan satu lagi di Tobruk bagian timur. Terjadi persaingan milisi dan suku untuk memperebutkan kekuasaan.