TEMPO.CO, Christchurch – Sejumlah keluarga dan teman dari korban serangan teror di Selandia Baru menyebut pelaku Brenton Harrison Tarrant sebagai arogan dan pengecut.
Baca:
Mereka menyaksikan dari ruang sidang proses pengadilan terdakwa Brenton Harrison Tarrant, 28 tahun, yang menghadapi 50 dakwaan pembunuhan dan 39 dakwaan upaya pembunuhan.
Tarrant merupakan terdakwa dalam kasus penembakan massal terhadap jamaah salat Jumat di masjid Al Noor dan Linwood pada 15 Maret 2019.
“Dia terlihat sangat arogan, tidak terlihat seperti seorang manusia,” kata Helal Uddin, yang temannya Mojammel Hoq tewas tertembak oleh Tarrant, seperti dilansir Stuff pada Jumat, 5 April 2019.
Helal bercerita Mojammel itu akan kembali ke Bangladesh dalam beberapa bulan untuk menikahi kekasihnya.
Baca:
Tarrant hadir di persidangan di Pengadilan Tinggi di Christchurch lewat siaran video dari Auckland, tempat dia ditahan di Penjara Auckland di Paremoremo. Ini merupakan penjara dengan keamanan maksimum.
Anggota keluarga korban penembakan mengungkapkan hari persidangan ini sebagai hari yang emosional.
Tofazzal Alam, yang berada di masjid Linwood pada saat penembakan terjadi, mengatakan dia hadir di ruang sidang karena banyak temannya yang meninggal. Alam mengaku terkejut melihat ekspresi terdakwa yang terlihat acuh.
“Saya tidak melihat ada emosi di wajahnya. Itu sangat menyedihkan,” kata dia.
Sedangkan Yama Nabi mengatakan dia datang di ruang sidang untuk melihat terdakwa pembunuh ayahnya, yang berusia 71 tahun, yaitu Haji Daoud Nabi, yang salat Jumat di masjid Al Noor.
Saat ditanya apa reaksinya melihat Tarrant di persidangan, Yama menjawab,”Seorang pengecut.”
Baca:
Yama melanjutkan,”Ibu saya, keluarga, dan anggota keluarga besar, mereka tidak datang ke sini karena tidak ingin mengalami ini. Hati mereka hancur. Mereka tidak ingin melihat ini lagi,” kata Yama.
Sedangkan saudara lelakinya, Omar Nabi, mengatakan datang ke persidangan untuk memastikan dia melihat wajah pelaku dan tidak ada upaya rekayasa untuk menutup-nutupi.
Dengan tangan terborgol, tidak bercukur, dan memakai pakaian abu-abu tua, Tarrant terlihat menatap di layar televisi ke pengadilan, yang dihadiri sekitar 50 anggota keluarga dan teman dari para korban aksi brutalnya.
Salah satu pengunjung yang hadir terlihat duduk di kursi roda dan mengenakan pakaian rumah sakit. Para pengunjung ini memperhatikan jalannya persidangan dengan serius.
Pengadilan memutuskan terdakwa bakal menjalani proses pengecekan kesehatan mental untuk mengetahui apakah dia layak menjalani persidangan ini.
Baca:
Selama persidangan kedua ini, Tarrant terlihat duduk tanpa emosi, memiringkan kepalanya beberapa kali untuk melihat ke arah layar dan ruangan tempat dia berada.
Pada akhir persidangan, hakim Cameron Mander memberitahunya bahwa dia akan terus ditahan. Saat ini, pelaku belum mengajukan pembelaan atas 89 dakwaan yang dikenakan kepadanya. Polisi masih mempertimbangkan untuk mengenakan lebih banyak tuduhan kepada Tarrant.
Saat ini, pengadilan masih merahasiakan nama 39 korban penembakan yang selamat. Sebelumnya, hakim Mander mengatakan ini dilakukan untuk mengetahui apakah terdakwa serangan teror ini ingin memiliki pengacara atau akan mewakili dirinya sendiri selama persidangan, yang sempat diutarakannya pada persidangan pertama.
Namun, pada Kamis malam kemarin, ada dua pengacara yaitu Shane Tait dan Jonathan Hudson mengatakan bersedia untuk mewakili terdakwa.
Menurut Tait, dia akan meminta kajian psikologi terhadap kliennya itu, yang bisa berlangsung selama tiga bulan. Soal ini, hakim Mander memerintahkan dua laporan awal soal kesehatn mental terdakwa untuk mempercepat prosesnya.
“Ini langkah yang tepat diambil untuk mencegah terjadinya penundaan persidangan,” kata Mander. Tarrant bakal kembali menjalani persidangan 14 Juni 2019. Pada saat itu, hakim akan telah mendapatkan hasil laporan awal kesehatan mental terdakwa.