TEMPO.CO, Wellington – Tersangka pelaku serangan teror di Selandia Baru, Brenton Harrison Tarrant, memprotes penahanannya.
Baca:
Tarrant beralasan hak-hak dasarnya telah diabaikan selama ditahan di Penjara Auckland di Paremoremo.
“Dia berada di bawah pengawasan terus menerus dan diisolasi. Dia tidak mendapatkan layanan minimal. Jadi tidak ada akses telepon dan kunjungan,” kata seorang petugas seperti dilansir SMH mengutip Stuff pada Ahad, 31 Maret 2019.
Menurut petugas, Tarrant, 28 tahun asal Australia, mengeluh tidak mendapatkan akses telepon dan kunjungan sejak ditahan pada Jumat, 15 Maret 2019. Dia ditangkap seusai menembaki jamaah salat Jumat di masjid Al Noor dan Linwood, yang menewaskan 50 orang lelaki, perempuan dan anak-anak. Sebanyak 48 orang lainnya terluka tembak.
Baca:
Menurut UU Lembaga Pemasyarakatan atau Corrections Act, setiap orang yang ditahan berhak mendapatkan akses untuk berolah raga, tidur, makanan, satu kunjungan per pekan, penasehat hukum, perawatan medis, surat dan telepon.
Namun, tahanan bisa tidak mendapatkan layanan dasar ini karena berbagai alasan termasuk karena sedang dipisahkan dari tahanan lain atau untuk alasan perlindungan, kesehatan dan keamanan.
Baca:
Ruang tahanan tempat Tarrant ditahan memiliki pintu depan dan belakang. Pintu depan dijaga petugas. Pintu belakang mengarah ke sebuah taman kecil seluar sel yang ditempati.
Sekitar 15 ribu warga di Kota Dunedin berparade untuk menunjukkan rasa simpati dan semagat persatuan pasca serangan teror di Selandia Baru yang dilakukan Brenton Harrison Tarrant terhadap jamaah salat Jumat di dua masjid di Kota Christchurch. Otago Daily Times
Halaman belakang ini berlantai beton dan tertutup tembok. Dia boleh mengunjungi halaman kecil ini selama satu jam setiap ahri.
“Petugas mengatakan dia tahanan yang berbeda dengan yang pernah ditahan di penjara ini,” begitu dilansir SMH.
Menurut Bill Hodge, seorang pakar hukum dari Auckland University, Tarrant kemungkinan merasa dirinya sebagai korban sehingga mulai keluhan terhadap masyarakat.
Tarrant kemungkinan bakal mulai menjalani persidangan secara audi visual dari dalam ruang tahanan, yang biasa terjadi pada masa praperadilan, dalam kasus teror di Selandia Baru. CNN melansir Tarrant terkena dakwaan pembunuhan dan kemungkinan bisa dihukum seumur hidup.