TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris jenderal partai Phue Thai, Phumtham Wechayachai mengecam Komisi Pemilu yang menangani pemilu yang disebutnya sebagai salah satu yang terkotor dalam politik Thailand.
Pelobi partai oposisi terbesar Thailand ini menuliskan di akun Facebooknya tentang kecamannya itu, seperti dikutip dari Bangkok Post, Jumat, 29 Maret 2019.
Baca: Foto PM Thailand Prayut Bekerja Sambil Diinfus Viral di Facebook
Wechayachai di akun Facebooknya, menuduh Komisi Pemilu menggelar pemilu secara tidak teroganisasi dengan hasil yang membingungkan, sehingga muncul pertanyaan tentang kredebilitas dan efisiensi penyelenggaraan jajak pendapat tentang pemilu.
Menurut petinggi Phue Thai itu, pemilu diselenggarakan dengan tujuan melanggengkan kekuasaan seseorang menjadi perdana menteri. Pernyataan ini merujuk pada Perdana Menteri Prayut Chan-o-cha.
Wechayachi menyebut, para politisi dari kelompok oposisi diintimidasi. Jual beli suara merajalela sebelum pemilu diselenggarakan.
Baca: Dua Partai Politik Menyoal Kecurangan Pemilu Thailand
"Pemilu 2019 akan dikenang dalam sejarah seperti pemilu tahun 1957, sebagai salah satu pemilu yang paling kotor dalam politik Thailand," Wechayachi menuliskannya di akun Facebook-nya.
Komisi Pemilihan dalam tekanan terkait dengan hasil pemilu yang diadakan pada 24 Maret 2019. Kontroversi terjadi pada melonjaknya jumlah suara hampir 4,5 juta sejak pengumuman pemenang pemilu dan pengumuman hasil statistik terbaru pada hari Kasmi, 228 Maret 2019.
Baca: Miliarder Muda Tantang Junta Militer pada Pemilu Thailand
Wakil sekretaris jenderal Komisi Pemilu, Krit Urwongse menjelaskan, perbedaan jumlah pemilih dan jumlah surat suara di beberapa tempat pemungutan suara boleh jadi disebabkan pemilih yang mendaftar tidak menunggu surat suara dari petugas.
Dalam pemilu 2019, partai Phue Thai meraih jumlah suara terbanyak di parlemen dengan meraih 137 kursi dan di tempat kedua dan ketiga diraih partai Palang Pracharath dan Future Forward.