TEMPO.CO, Jakarta - Dua kali parlemen Inggris menolak proposal Brexit PM Theresa May, dan pada Rabu kemarin parlemen menolak skenario Brexit tanpa kesepakatan.
Parlemen memilih untuk menentang prospek keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan dan tak terduga melemahkan otoritas May yang sudah babak belur di parlemen dan negosiasi Brexit dengan Uni Eropa.
Tentangan dari Partai Konservatif-nya sendiri memunculkan spekulasi bahwa kabinetnya sendiri dapat mencoba memaksanya memecat May sebagai perdana menteri.
Baca: Apa Saja yang Akan Terjadi di Inggris Jika Brexit Gagal?
Tidak ada perdana menteri lain dalam sejarah Inggris baru-baru ini yang begitu mampu berulang kali, untuk bekerja sesuai kehendaknya di Parlemen. Anggota dari partai yang berkuasa juga merasa tidak bebas untuk memberontak secara terbuka terhadap pemimpin mereka.
Dikutip dari New York Times, 14 Maret 2019, Theresa May setuju untuk mosi meminta anggota parlemen memilih bahwa mereka menentang meninggalkan Uni Eropa sesuai jadwal, pada tanggal 29 Maret, kecuali ada perjanjian dengan blok itu.
Anggota parlemen Inggris pada hari Selasa, 29 Januari 2019, menginstruksikan Perdana Menteri Theresa May untuk membuka kembali perjanjian Brexit dengan Uni Eropa untuk menggantikan pengaturan perbatasan Irlandia yang kontroversial.[REUTERS]
Sebaliknya, dan bertentangan dengan keinginannya, Parlemen memilih untuk tidak meninggalkan Uni Eropa tanpa kesepakatan atau yang dikenal No Deal Brexit. Anggota dari partai pemerintahannya sendiri yang menentang May.
Pemungutan suara pada Rabu diharapkan meminta parlemen untuk menunda ambang batas Brexit pada 29 Maret, dalam pemungutan suara yang dijadwalkan pada Kamis waktu setempat.
Baca: Ini Negara yang Paling Dirugikan karena Brexit Inggris
Berbicara setelah pemungutan suara, PM May mengatakan bahwa jika anggota parlemen dapat mendukung kesepakatan dalam beberapa hari ke depan, ia dapat meminta penundaan Brexit hingga 30 Juni.
Tapi itu tampaknya tidak mungkin. Parlemen menolak perjanjian Brexit yang Theresa May negosiasikan dengan Uni Eropa dengan suara kalah telak 432 banding 202 pada Januari, dan mengalahkannya lagi pada Selasa, 391 suara banding 242 suara.