TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Presiden Filipina Leni Robredo mengutuk penangkapan CEO dan pemimpin redaksi Rappler Maria Ressa atas kasus pencemaran nama baik dunia maya.
Pada hari Rabu, 13 Februari, Wakil Presiden mengatakan dikeluarkannya surat perintah penangkapan terhadap jurnalis veteran adalah bentuk pelecehan politik.
"Saya sedih dengan ini. Saya mencela dalam istilah terkuat pelecehan politik ini, bahwa karena Anda mengekspresikan apa yang Anda pikirkan, karena Anda mengkritik kebijakan, ini menjadi alasan untuk menekan kebebasan, bukan hanya dari media, tetapi semua orang lain yang berani berbicara," kata Robredo, dikutip dari Rappler, 14 Februari 2019.
Baca: CEO Rappler Maria Ressa Ditangkap, Akibat Mengkritik Duterte?
Ressa ditangkap pada Rabu malam di kantor Rappler di Pasig City oleh agen-agen Biro Investigasi Nasional (NBI).
Dia ditahan oleh NBI satu malam setelah Pengadilan Regional Kota Pasay, menolak untuk memproses jaminannya.
Maria Ressa, a Filipina journalist named one of TIME's Person of the Year 2018, is shown on cover which named journalists, including a slain Saudi Arabian writer and a pair of Reuters journalists imprisoned by Myanmar's government, as its "Person of the Year," in this image released from New York, U.S., December 11, 2018. Courtesy Time Magazine/Handout via REUTERS
Ressa menghadapi kasus pencemaran nama baik dunia maya yang diajukan terhadapnya oleh Departemen Kehakiman.
Kasus ini berawal dari pengaduan pengusaha Wilfredo Keng, yang disebut dalam artikel Rappler Mei 2012 sebagai pemilik sebuah SUV yang dulu digunakan ketua pengadilan Renato Corona selama persidangan pemakzulan.
Baca: Ditangkap Otoritas Filipina, CEO Rappler akan Bayar Uang Jaminan
Cybercrime Prevention Act atau UU ITE Filipina diberlakukan hanya pada September 2012. Padahal Rappler memperbarui artikel pada Februari 2014 untuk memperbaiki kesalahan ketik. Tetapi Departemen Kehakiman mengklaim langkah Maria Ressa ini sama dengan publikasi "berganda" Rappler dan pencemaran nama baik.