TEMPO.CO, Jakarta - Pengusaha Australia bernama Clive Palmer membuka kantor baru, tetapi muncul laporan bahwa kantor itu tidak berpenghuni dan hampir tidak ada apa-apa di dalamnya.
Kantor baru yang berlokasi di Auckland ini rencananya berfungsi sebagai kantor pusat untuk perusahaan andalan Palmer, Mineralogy International Ltd, yang baru-baru ini terdaftar resmi sebagai perusahaan di Selandia Baru, seperti dikutip dari News.com.au, 24 Januari 2019.
Baca: Bangun Rumah Mewah untuk Warga Desa, Pengusaha Cina Kecewa
Pemindahan kantor dilakukan Palmer atas perusahaan lepas pantai yang berbeda untuk menghentikan intervensi pemerintah dalam kedudukan hukumnya dengan perusahaan pertambangan Cina.
Namun ternyata kantor tersebut berbeda dari yang diharapkan Palmer. Kantor berisi kursi, meja, dan lemari kecil. Bangunan ini menampung 130 perusahaan kecil lainnya bersama dengan perusahaan Palmer.
Kantor pusat Mineralogy International milik Clive Palmer di Selandia Baru.[News.com.au]
Rupanya di luar kantor kecil inilah Palmer menjalankan Mineralogy, yang mendanai kampanye politik televisi, papan reklame, dan pesan singkat partai United Australia Party.
Palmer telah menghabiskan jutaan dolar untuk iklan televisi yang mahal, pesan teks spam dan permainan online yang aneh.
Tahun lalu, Palmer mengumumkan bahwa dia akan memiliki peluang lain di dunia politik dengan meluncurkan United Australia Party, dengan rencana untuk mencalonkan seorang kandidat di setiap kursi dan untuk dirinya sendiri memperebutkan kursi Herbert di Queensland.
Baca: Gubuk Kecil Dekat Sungai Emas di Selandia Baru Dilelang, Minat?
Dari kantor barunya di Selandia Baru, Palmer juga berjanji untuk meluncurkan tindakan hukum terhadap pemerintah Australia Barat jika legislatif utama negara bagian itu mendukung Citic, sebuah perusahaan tambang milik pemerintah Cina yang menyewakan situs tambang di Pilbara dari Mineralogy.
Palmer dalam perselisihan dengan Citic tentang pembayaran ratusan juta dolar Australia, sementara Citic berusaha memaksa Palmer untuk menyediakan lebih banyak lahan untuk ditambang di lokasi di Cape Preston.
Pengusaha itu mengatakan jika pemerintah Australia Barat melakukan intervensi dalam pertarungan pengadilan tinggi dan aturan melawannya, ia akan menuntut ganti rugi sebesar AUD$ 45 miliar atau Rp 452 triliun.