TEMPO.CO, Jakarta - Profesor Studi dan Hukum Islam Thailand mengatakan masyarakat Thailand terbebas dari radikalisme berbasis agama karena pemerintah menjamin dan melindungi kebebasan beragama.
Ini diungkapkan Profesor Kriya Langputeh dari Fatoni University saat membahas riset peneliti Wilasinie Sipapol dari Wailalak University memaparkan riset "Buddhist Privilege: The Contradictory Peace-Making Policy and Preventing Violent Extremism in Thailand" dalam seminar internasional Convey Indonesia yang diselenggarakan PPIM UIN pada 14-16 Januari 2019 di Jakarta.
Baca: Seminar PPIM UIN Soal Pendidikan Agama Cegah Ekstrimisme di ASEAN
Menurut Prof Kriya, yang juga berasal dari wilayah selatan Thailand mayoritas Muslim-Melayu, pemerintah Thailand atau pemerintah lain lazimnya melihat agama sebagai isu utama konflik.
Pemerintah Thailand mengimplementasikan Countering Violent Extremism (CVE) dan Prevention of Violent Extremism (PVE) untuk menangkal radikalisme, termasuk penerapan kurikulum yang sesuai.
Pembicara Wilasinie Sopapol (kiri) dan Dr. Kriya Langputeh (kanan) dari Fatoni University dan moderator Dr. Dorita Setiawan (tengah) dalam seminar internasional Nurturing The Faith: State, Religious Education and Prevention of Violent Extremism in Southeast Asia, Selasa 15 Januari 2019.(Eka Yudha Saputra/Tempo)
Saat ini ada lima agama yang diakui resmi oleh Pemerintah Thailand menurut Konstitusi Kerajaan Thailand 1997, UU No. 38 dan Konstitusi Kerajaan Thailand 2017 pasal 31 yang berfokus pada kebebasan beragama.
"Thailand mengakui lima agama: Islam, Budha, Kristen, Hindu dan Sikhisme. Dan semua agama dilindungi berdasarkan konstitusi," kata Prof Kriya, kepada Tempo, 15 Januari 2019.
Baca: Usman Hamid: Kita Tak Punya Strategi Lawan Ekstrimisme Kekerasan
Upaya Pemerintah Thailand untuk menangkal radikalisme salah satunya mendaftar identitas sekolah dan memberikan kurikulum yang didiskusikan bersama institusi terkait termasuk (Biara, Sekolah Kristen, Pondok Pesantren atau Sekolah Islam) untuk memberikan gambaran umum pendidikan yang sesuai.
Namun menurut Prof Kriya, masyarakat Thailand terutama di wilayah selatan yang mayoritas Muslim, jarang terjadi bentrok yang dipicu paham radikalisme agama.
Menariknya Muslim dan pemeluk Budha hidup berdampingan seperti kerabat dan saling melindungi. Mereka melihat agama bukan identitas yang perlu diperdebatkan, dan biasanya penduduk yang berkonflik dipicu masalah pribadi yang meluas atau
ujaran kebencian
"Insiden yang biasanya terjadi selatan Thailand, bukan karena agama, tapi agama digunakan sebagai alat," ujar Prof Kriya.
Baca: Kemenag: Kaum Berpendidikan Mudah Terpengaruh Gerakan Ekstrem
Di Thailand, tidak ada radikalisme agama berbasis Khilafah atau pandangan agama garis keras dari pengaruh luar. Bahkan gerakan separatis di Thailand selatan tidak berhubungan dengan kelompok Islam radikal, namun lebih bersifat lokal.
Muslim di Thailand terutama di selatan, tidak mengalami masalah tinggal di negara mayoritas dan menerima diri sebagai minoritas. Isu minoritas dan mayoritas tidak menjadi masalah di Thailand, karena selama kebebasan ibadah mereka dijamin konstitusi tidak ada masalah. Masyarakat dan pemerintah Thailand menyadari masalah antarmasyarakat bukan pada isu agama, namun lebih kepada perspektif lokal dan upaya pemerintah dalam edukasi religi lebih kepada menjaga stabilitas Thailand.