TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah junta militer Thailand meloloskan RUU legalisasi ganja untuk medis dan pernikahan sesama jenis, di mana RUU ini akan secara resmi berlaku ketika disahkan parlemen, sebelum pemilu 24 Februari.
Dalam sesi parlmen pada Selasa kemarin, RUU legalisasi ganja untuk medis telah disahkan oleh parlemen. UU akan mulai berlaku ketika disetujui oleh monarki, menurut South China Morning Post, 27 Desember 2018.
Baca: Thailand Negara ASEAN Pertama yang Legalkan Ganja untuk Medis
Undang-undang sah setelah didukung 166 suara dengan 13 abstain, menurut laporan Bangkok Post. Namun parlemen memutuskan untuk penambahan anggota komisi pengawas narkotika dari 17 menjadi 25 anggota.
Pejabat Thailand menunjukkan beberapa ganja sebelum konferensi pers Bangkok, Thailand, Selasa, 25 September 2018. Polisi Thailand menyerahkan sekitar 100 kilogram ganja yang disita untuk digunakan dalam penelitian medis. (Foto AP / Sakchai Lalit)
UU mengizinkan penggunaan ganja dan kratom untuk kepentingan pemerintah dan medis, perawatan pasien, riset dan pengembangan, pertanian, perdagangan, ilmu pengetahuan dan industri.
Sementara RUU pernikahan sesama jenis yang telah disetujui kabinet saat ini masih berada di parlemen menunggu disahkan. Jika disahkan, maka Thailand menjadi negara ASEAN pertama yang legalkan pernikahan sejenis.
Baca: RUU di Parlemen, Thailand Siap Legalkan Pernikahan Sesama Jenis
Kontroversi utama mengenai legalisasi ganja di Thailand melibatkan permintaan perusahaan asing yang dapat memungkinkan mereka untuk mendominasi pasar, mempersulit pasien Thailand untuk mengakses obat-obatan dan bagi peneliti Thailand untuk mengakses ekstrak ganja.
Lalu RUU pernikahan sesama jenis masih menunggu pengesaham dalam sesi parlemen yang akan selesai pada 15 Februari, sebelum pemilu 24 Februari.
Komunitas LGBT Thailand mengikuti Pawai Hari Kebebasan Gay di Bangkok, Thailand, Kamis, 29 November 2018. Pada 2017, Bangkok dinobatkan sebagai kota yang paling ramah gay di dunia, setelah Kota Tel Aviv, Israel. REUTERS/Soe Zeya Tun
Meskipun, jika disahkan nantinya dalam parlemen dan menjadikan Thailand negara ASEAN pertama yang legalkan pernikahan sejenis, sejumlah aktivis LGBTIQ menilai RUU ini hanya menjadikan pasangan sesama jenis sebagai kelas dua. Pasalnya, ada beberapa ketentuan yang dibedakan dalam RUU dengan pasangan heteroseksual.
Baca: Thailand Akan Gelar Pemilu Pada Februari 2019
"Perbedaannya terletak pada hak atas beberapa bentuk kesejahteraan negara. Perbedaan lainnya adalah pengurangan pajak penghasilan pribadi," kata penasihat perdana menteri, Nathporn Chatusripitak.
Selain itu, RUU menyebut pasangan harus berusia lebih dari 20 tahun dan harus berkewarganegaraan Thailand, jika ingin adopsi anak.
Presiden Joko Widodo atau Jokowi (kanan) berjabat tangan dengan Perdana Menteri Thailand Jenderal Prayut Chan-o-cha (kiri) dalam ASEAN Leaders Gathering di sela-sela rangkaian Pertemuan Tahunan IMF-World Bank Group 2018 di Nusa Dua, Bali, Kamis, 11 Oktober 2018. ANTARA/ICom/AM IMF-WBG/M Agung Rajasa
Pada 24 Februari nanti, junta akan menggelar pemilu setelah penundaan beberapa kali, bukan tidak mungkin pengesahan dua RUU kontroversial sebagai alat potensial pembawa margin elektoral agar beralih pada partai proksi pro junta.
Baca: Menjelang Pemilu, Thailand Longgarkan Aturan Aktivitas Politik
Selain desakan pemilu yang semakin datang, Thailand juga mulai menjabat sebagai kepala ASEAN pada pertengahan 2019, sehingga digodok pemilu secepat mungkin.
Berdasarkan tradisi tidak tertulis, negara pemimpin ASEAN tidak menyelenggarakan pemilu di tengah masa periodenya, meskipun ini tidak mutlak, dan 50 RUU yang telah dan akan diloloskan, juga dimaksudkan untuk menyenangkan para calon pemilih Thailand untuk pemilu 24 Februari mendatang.