TEMPO.CO, Jakarta - Sekitar tiga kilometer dari jantung kota Sisilia, Catania, Italia, berdiri sebuah monumen di kawasan pemakaman Sicilia. Kondisi pemakaman itu tidak terawat dengan bunga segar dan rumput yang melilit batu-batu nisan berbentuk salib.
Sebagian besar mereka yang dimakamkan di pemakaman itu adalah pengungsi dan imigran, yang meninggal di laut saat mencoba menyeberang ke Eropa. Pemakaman itu menjadi tempat peristirahatan terakhir lebih dari dua ribu imigran.
Baca: Kapal Tenggelam di Mesir, 162 Pengungsi Tewas
Rute laut mediterania dikenal sangat berbahaya. Organisasi Internasional untuk Migrasi atau IOM menyebut, sepanjang tahun ini lebih dari dua ribu orang meninggal di laut itu. Otoritas lokal menyebut, hanya satu dari 10 jasad yang biasanya teridentifikasi.
"Sebagian besar jasad tidak teridentifikasi. Ini lama-lama menjadi data statistik, bukannya manusia," kata Giorgia Mirto, Antropoligis Sicilian dan pendiri Mediterranean Missing, sebuah proyek pengumpulan data nama-nama pengungsi dan imigran yang tewas di laut mediterania.
Baca: Kapalnya Terbalik, 400 Pengungsi Tenggelam di Laut Tengah
Rute laut mediterania dikenal sangat berbahaya. Organisasi Internasional untuk Migrasi atau IOM menyebut, sepanjang tahun ini lebih dari dua ribu orang meninggal di laut itu. Otoritas lokal menyebut, hanya satu dari 10 jasad yang biasanya teridentifikasi. Sumber: Santi Palacios/AP Photo/Aljazeera
Setelah menghabiskan waktunya melakukan penelitian di pemakaman di seluruh Sicilia, Mirto mengidentifikasi sebuah trend. Di Sicilia, imigran telah menjadi bagian dari komunitas. Sejumlah warga membawa bunga dan memanjatkan doa di kuburan para imigran.
Sebelumnya pada Agustus lalu, Angelo Milazzo, aparat kepolisian, menemani Jamal Mekdad, seorang laki-laki asal Suriah dan dua anaknya mengunjungi pemakaman Melilli, sebuah desa pelabuhan di Syracuse, wilayah di timur Sicily. Mekdad dan anak-anaknya mengunjungi makam istri dan ibunya yang tewas saat berusaha menyeberangi laut Mediterania pada 2014. Ketika itu, mereka hendak berlindung ke Denmark.
"Saya masih menangis setiap kali mengingat hari itu," kata Milazzo, seperti dikutip dari aljazeera.com, Senin, 27 November 2018.
Milazzo merupakan salah satu anggota unit kepolisian yang bertugas menghentikan para imigran tak berdokumen. Hal yang sulit dilupakannya ketika dia melihat 24 imigran yang tewas saat berupaya menyeberang agar bisa menginjakkan kaki di Benua Biru.
Sejak peristiwa itu, Milazzo melakukan tugas di luar kewenangannya, yakni mencoba mengidentifikasi para korban tewas. Di luar jam kerjanya, dia menghabiskan waktu dari kota ke kota, ke pemakaman dan mencari di kemungkinan kecocokan data di Facebook.
Mengidentifikasi imigran dan pengungsi tewas tanpa dokumen, bukan perkara mudah. Sebagian besar korban tidak memiliki dokumen seperti pasport. Walhasil, kepolisian harus bekerja sama dengan sejumlah pihak untuk mengevaluasi jasad dengan membuat data forensik berdasarkan DNA, asal, berat dan tinggi badan, serta jenis kelamin.
Data-data itu lalu dikirim ke sebuah pusat kepolisian dan pusat imigran yang menangani para korban dari perahu rusak saat akan menyeberang ke Eropa. Sebab sebagian besar dari mereka, bepergian bersama keluarga.
Mengidentifikasi korban tewas tanpa identitas dan sudah kubur di pemakaman bukan pekerjaan mudah. Namun ini menjadi tugas setiap manusia untuk mengembalikan martabat seseorang yang mungkin berarti di hidup orang lain dengan menemukan identitasnya.