TEMPO.CO, Jakarta - Masyarakat Taiwan pada Sabtu, 24 November 2018 memberikan hak suara mereka dalam sebuah pemilu lokal.
Ada lebih dari 11 ribu kursi yang diperebutkan untuk jabatan di kotamadya, kabupaten, kota dan desa, dengan kota selatan Kaohsiung yang menjadi medan perang utama bagi Partai Progresif Demokratik atau DPP, partai yang telah menguasai Taiwan selama dua dekade.
Pemilu lokal ini juga akan menjadi penentu nasib DPP, partai pro-kemerdekaan Taiwan, menjelang pemilihan presiden pada tahun 2020. Hasil pemilu lokal ini akan dipantau ketat oleh Cina, yang mengklaim Taiwan adalah bagian tak terpisahkan dari Cina. Beijing telah menekan Presiden Taiwan, Tsai Ing-wen dan pemerintahannya sejak dia menduduki jabatan pada 2016.
Baca: Taiwan Bakal Gelar Parade Kemerdekaan untuk Lawan Cina
Menjelang diselenggarakannya pemilu, Tsai dan pemerintahannya telah berulang kali menyebut Beijing berupaya mengintervensi hasil pemilu melalui perundungan politik dan berita bohong. Beijing menyangkal tuduhan itu.
Ketegangan di selat Taiwan telah membuat wilayah itu mengalami ketegangan dengan Cina yang rutin melakukan latihan-latihan militer.
Baca: Taiwan Minta Dukungan Dapat Status Pengamat di Interpol
"Ini perjuangan bagi demokrasi. Suara kami adalah sebuah demonstrasi kepada dunia bahwa berita bohong dan kekuatan eksternal tidak akan mampu mengalahkan demokrasi dan martabat Taiwan," kata Tsai, Jumat, 23 November 2018.
Pemerintahan Tsai telah menggagas sejumlah reformasi domestik mulai dari skema pensiun hingga undang-undang ketenaga kerjaan.
Selain pemungutan suara untuk memilih pemimpin lokal, pemilu pada 24 November 2018 juga sekaligus referendum untuk menentukan status pernikahan sesama jenis. Referendum ini akan menjadi tantangan bagi pemerintahan Tsai apakah pernikahan sesama jenis akan diizinkan di Taiwan.