TEMPO.CO, Jakarta - Penyelesaian masalah pelanggaran HAM berat yang dilakukan militer Myanmar kepada penduduk etnis minoritas Rohingya bukan hanya bergantung pada pemerintah Myanmar, tetapi pada komitmen komunitas internasional, termasuk Indonesia.
Kyaw Win, Direktur Eksekutif Yayasan HAM Burma, mengatakan jika komunitas internasional ingin menyelesaikan masalah yang dihadapi etnis Rohingya secepatnya, maka ini bisa saja terjadi. Sebab itikad politik sangat penting dalam hal ini.
"Sayangnya, saat ini saya tidak melihat adanya itikad politik yang kuat. Kita butuh banyak langkah, bukan hanya menekan pemerintah Myanmar, tapi kita perlu langkah lain. Misalnya memberlakukan sanksi ekonomi, membawa para pelaku pembantaian ke pengadilan dan tekanan langsung ke pemerintah Myanmar. Ada banyak hal yang harus dilakukan untuk menyelesaikan kasus ini," kata Kyaw dalam diskusi terbuka yang dilakukan oleh Komite Nasional Solidaritas Rohingya (KNSR) yang diinisiasi ACT, Rabu, 14 November 2018.
Baca: Repatriasi Pengungsi Rohingya ke Myanmar Ditentang
Kyaw Win, Direktur Eksekutif Yayasan HAM Burma. Sumber: TEMPO/Suci Sekarwati
Baca: Tiga Pelanggaran HAM Berat yang Dilakukan Myanmar pada Rohingya
Menurutnya, ASEAN sangat bisa menjatuhkan sanksi ekonomi kepada Myanmar demi penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat yang dialami etnis minoritas Rohingya. Terlebih, apa yang dihadapi masyarakat Rohingnya di negara bagian Rakhine, Myanmar adalah hal sama yang mereka alami 40 tahun silam.
Tindak kekerasan dan diskriminasi, bukan hanya dialami oleh etnis Rohingya saja, tapi kelompok muslim lainnya di Myanmar. Total ada sekitar 10 persen umat Islam di Myanmar.
"Masalah ini sangat bahaya karena bisa berpengaruh pada kawasan," ujarnya.
Pandangan serupa juga disampaikan oleh Dina Wisnu, Dewan HAM ASEAN. Menurutnya, ketika terjadi suatu pelanggaran HAM, maka perlu diingatkan pemerintahnya. Sebab pembantaian atau genosida tidak bisa didiamkan begitu saja.
Terkait pembantaian pada etnis minoritas Rohingya Agustus 2017, Indonesia telah bersikap konsisten, yakni ingin masalah ini selesai. Namun saat dunia memojokkan Myanmar, Indonesia juga perlu mendampingi negara yang dulu bernama Burma itu. Myanmar adalah bagian dari ASEAN dan tetangga Indonesia.
ASEAN saat ini memposisikan diri sebagai katalisator bagi kelompok-kelompok yang belum bersatu. Dina mengingatkan, pertumbuhan ekonomi Myanmar cukup tinggi, yakni enam persen per tahun. Dengan begitu, apa yang terjadi di Myanmar akan sangat berpengaruh karena bisnis amat membutuhkan stabilitas dan Indonesia diharapkan bisa menentukan prioritas terkait nasib etnis Rohingya.