TEMPO.CO, Jakarta - Amnesty Internasional mencabut penghargaan HAM tertinggi Ambassador of Conscience terhadap pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi. Penghargaan itu dicabut karena pengkhianatan Suu Kyi terhadap nilai-nilai yang pernah dibelanya.
Sekretaris Jenderal Amnesty Internasional Kumi Naidoo mengatakan, Suu Kyi tidak menggunakan otoritas politik dan moralnya untuk menjaga HAM, menegakkan keadilan dan kesetaraan. Suu Kyi justru menutup mata terhadap kekejaman militer Myanmar dan meningkatnya serangan terhadap kebebasan berekspresi di negara tersebut.
Baca: Myanmar-Bangladesh Mulai Repatriasi, Rohingya Melarikan Diri
“Sebagai seorang Ambassador of Conscience Amnesty International, harapan kami adalah Anda (Suu Kyi) melanjutkan otoritas moral Anda untuk menentang ketidakadilan dimanapun Anda melihatnya, termasuk di Myanmar sendiri,” kata Kumi Naidoo dalam surat yang diberikan kepada Suu Kyi.
Menurut Kumi, Amnesty tidak mempunyai alasan untuk tetap mempertahankan status Suu Kyi sebagai penerima penghargaan Ambassador of Conscience . Sejak Suu Kyi menjadi pemimpin de facto pemerintahan sipil Myanmar pada April 2016, pemerintahannya aktif terlibat dalam atau membiarkan terjadinya pelanggaran HAM yang terus berulang.
Amnesty telah berulang kali mengkritisi kegagalan Aung San Suu Kyi dan pemerintahannya dalam menentang kejahatan militer Myanmar terhadap etnis minoritas Rohingya di negara bagian Rakhine yang telah tinggal dalam sistem segregatif dan diskriminatif yang setara dengan politik apartheid di Afrika Selatan selama bertahun-tahun.
Aung San Suu Kyi usai berkampanye di kota Hsiseng, Myanmar, 5 September 2015. Partai Suu Kyi, Partai Nasional untuk Demokrasi (NLD) menolak keputusan yang dikeluarkan Komisi Pemilu tersebut. REUTERS/Soe Zeya Tun
Baca: Konflik Rohingya, Yayasan Nobel Sesalkan Sikap Aung San Suu Kyi
Pada saat kekejaman terhadap Rohingya berlangsung tahun lalu, militer Myanmar membunuh ribuan, memperkosa wanita dan anak perempuan, menahan dan menyiksa laki-laki dewasa dan anak-anak, serta membakar ratusan rumah dan perkampungan sehingga rata dengan tanah.
Sementara laporan PBB menyerukan agar pemimpin senior militer Myanmar diinvestigasi dan diadili atas kejahatan genosida di negara tersebut. Terhitung sebanyak 720 ribu warga etnis Rohingya melarikan diri mencari perlindungan ke Bangladesh.
Suu Kyi dan pemerintahannya dianggap telah melindungi militer dari pertanggungjawaban mereka dengan cara menutup mata atau membantah tuduhan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh militer dan menghalangi upaya komunitas internasional untuk menginvestigasi kasus tersebut.
Baca: Myanmar Tangkap Aktivis Pengkritik Aung San Suu Kyi
Pemerintahan Suu Kyi, menurut Amnesty, secara aktif telah membangkitkan permusuhan terhadap Rohingya dengan cara melabeli mereka sebagai “teroris”, menuduh mereka membakar rumah mereka sendiri dan mengutuk karena “memalsukan pemerkosaan”. Media pemerintah juga memuat banyak tulisan-tulisan yang menghasut dan tidak manusiawi karena menggambarkan Rohingya sebagai “kutu manusia yang menjijikkan” dan “duri” yang harus ditarik keluar.
“Kegagalan Aung San Suu Kyi untuk berbicara membela Rohingya adalah salah satu alasan mengapa kami tidak bisa lagi menjustifikasi untuk mempertahankan statusnya sebagai Ambassador of Conscience,” ujar Kumi Naidoo.
Selain itu, Amnesty International menyebutkan Suu Kyi gagal menggunakan kewarganegaraannya untuk mengecam pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh militer ataupun mendorong akuntabilitas atas kekejaman perang atau berbicara membela warga etnis minoritas yang menjadi korban dari konflik di kedua negara bagian tersebut.
Baca: Surat Terbuka Peraih Nobel Kritik Aung San Suu Kyi Soal Rohingya
Tidak hanya itu, dua tahun setelah Suu Kyi menduduki tampuk kekuasaan, aktivis dan jurnalis ditangkap dan dipenjarakan, sementara yang lainnya mendapat ancaman dan intimidasi karena kerja-kerja mereka.
Pemerintahan Aung San Suu Kyi juga gagal untuk menghapuskan undang-undang yang represif termasuk beberapa aturan yang digunakan untuk memenjarakan dirinya dan orang lain yang mengkampanyekan demokrasi dan hak asasi manusia di masa lalu. Putri jenderal Aung San, pendukung demokrasi di Myanmar, malah secara aktif mempertahankan keberadaan undang-undang tersebut, khususnya dengan membiarkan otoritas setempat memenjarakan dua wartawan Reuters karena telah mendokumentasikan kekejaman yang dilakukan oleh militer Myanmar.
AMNESTY INTERNATIONAL | MIS FRANSISKA DEWI