TEMPO.CO, Jakarta - Nilofar Bayat, 24 tahun, tak bisa lagi mengingat detail kejadian saat kelompok radikal Taliban di Afganistan meledakkan bom yang meremukkan kakinya. Yang dia tahu, peristiwa itu telah membuatnya cacat seumur hidup.
“Saya terluka dalam sebuah serangan bom di kota Kabul, Afganistan. Usia saya waktu itu 2,5 tahun, usia yang masih sangat kecil,” kata Bayat.
Dia menceritakan keterbatasan fisik ini telah membuatnya sempat menarik diri dari pergaulan. Dia bahkan pernah berada di titik tak mau menampakkan diri pada siapapun karena malu dengan kondisi fisiknya. Namun perlahan, hidup Bayat mengalami perubahan saat dia berkenalan dengan dunia olahraga, khususnya basket.
Baca: Cara Keluarga Menghadapi Penyandang Disabilitas Baru
“Keterbatasan fisik ternyata tidak membatasi saya sama sekali. Saya cacat tetapi saya bisa melakukan banyak hal, hanya saja caranya memang berbeda. Saat saya bermain basket, saya merasa sangat bahagia. Olahraga ini telah membuat saya punya tujuan hidup. Saya ingin menunjukkan pada semua orang meski kami memiliki keterbatasan secara fisik, tetapi kami kuat,” kata Bayat kepada Tempo, 5 Oktober 2018.
Bayat boleh dibilang perempuan tangguh. Pasalnya, budaya Afganistan masih melihat perempuan dan kaum difabel menggeluti dunia olahraga sebagai hal yang tak lazim.
Diakui Bayat, banyak orang mencemooh dengan keterbatasan fisiknya dan gender, yang dari kacamata budaya seharusnya berada di rumah. Butuh kerja keras untuk meyakinkan keluarga agar Bayat diizinkan bermain basket untuk kaum difabel.
Baca: Angkutan Umum di Ibu Kota Tak Ramah bagi Kaum Difabel
“Menggeluti olahraga bagi perempuan sangat penting mendapat dukungan keluarga. Saya didukung oleh ayah. Ibu juga akhirnya mendukung setelah saya bisa pulang bertanding di luar negeri dan pulang membawa medali. Ibu mengatakan tak menyangka saya sangat kuat. Ibu akhirnya bangga dengan saya. Sekarang pun seluruh keluarga besar mendukung saya. Saya tak peduli dengan omongan tetangga, saya hanya fokus lakukan yang terbaik,” kata Bayat, yang datang ke Jakarta bersama timnya untuk bertanding di Asian Para Games 2018 lalu.
Bayat, yang sudah menggeluti basket selama lima tahun, saat ini menjabat sebagai tim kapten nasional basket perempuan kursi roda Afganistan. Jabatan ini disebutnya sebagai tanggung jawab untuk membawa timnya menuju kemenangan, sebuah tugas berat di tengah keterbatasan fasilitas mengingat Afganistan masih menyimpan banyak masalah.
Namun di bawah tanggung jawab ini pula, Bayat ingin menyebarkan gagasan terkait apa yang dilakukan perempuan lain di dunia. Bagaimana perempuan di luar Afganistan meningkatkan kapasitas diri, memiliki kesetaraan hak dan bagaimana mereka berkarya di masyarakat.
Dia sangat ingin menyuarakan bahwa perempuan Afganistan kuat dan bisa melakukan apapun yang ingin dilakukan, termasuk kaum difabel yang memiliki hak sama dengan orang normal pada umumnya.
"Afganistan masih diselimuti banyak permasalahan. Perempuan masih sulit keluar rumah untuk beraktivitas dan berolahraga. Namun saya melihat ada perubahan di Afganistan," ujarnya.
Pemerintah Afganistan disebut Bayat telah mendukung kaum difabel di sektor olahraga, walau uang anggarannya masih sangat sedikit. Turnamen untuk kaum difabel pun mulai diadakan, mesti tergantung pada situasi keamanan.