TEMPO.CO, Jakarta - Kontraktor militer besar Amerika Serikat khawatir parlemen akan memblokir kesepakatan senjata dengan Arab Saudi atas kasus hilangnya jurnalis Jamal Khashoggi di Turki.
Laporan Turki bahwa jurnalis Jamal Khashoggi, seorang kritikus vokal Kerajaan Saudi, tewas di dalam konsulat Arab Saudi di Istanbul dan membuat Kongres AS membekukan penjualan senjata ke Arab Saudi. Hilangnya Jamal Khashoggi menambah kemarahan mayoritas anggota parlemen setelah peran Arab Saudi di Perang sipil Yaman.
Arab Saudi menolak tuduhan di Turki sebagai tidak berdasar.
Baca: Turki: Ada Bukti Jamal Khashoggi Dibunuh di Konsulat Saudi
Dilaporkan Reuters, 13 Oktober 2018, Presiden Donald Trump mengatakan dirinya khawatir jika menghentikan penjualan senjata ke Arab Saudi karena kasus Jamal Khashoggi, hanya akan mengalihkan pembelian senjata Arab Saudi ke Rusia dan Cina.
Jamal Khashoggi, 59 tahun, wartawan asal Arab Saudi, hilang di kantor konsulat jenderal Arab Saudi di Istanbul, Turki. Sumber : AP/trtworld.com
Donald Trump tahun lalu mengumumkan penjualan paket senjata senilai 110 miliar dolar AS atau Rp 1.670 triliun ke Arab Saudi, dan telah menjadi pusat perhatian karena Trump telah melangkah lebih jauh daripada pendahulunya dalam kebijakan ekspor senjata.
Namun kritik mengungkapkan pendekatan lebih memberi tempat untuk kepentingan bisnis daripada masalah hak asasi manusia.
Baca: Turki Sebut Arab Saudi Kirim Tim Pembunuh Incar Jamal Khashoggi
Pejabat senior AS menolak untuk mengidentifikasi perusahaan yang telah menyampaikan kekhawatiran kepada pemerintah atas kesepakatan senjata Arab Saudi.
Lockheed Martin dan Raytheon telah menjadi perusahaan pertahanan AS yang paling aktif dengan penjualan potensial ke Arab Saudi sejak Trump mengumumkan paket senjata sebagai bagian dari agenda "Buy American" untuk menciptakan lapangan kerja dalam negeri.
Logo Lockheed Martin. REUTERS/Peter Nicholls
Di Kongres, Partai Demokrat dan Republik sama-sama khawatir dengan menghilangnya Jamal Khashoggi, yang merupakan warga AS yang menulis kolom untuk Washington Post.
Baca: Kasus Jamal Khashoggi, Turki dan Arab Saudi Bentuk Tim Bersama
Jamal Khashoggi memasuki konsulat Arab Saudi pada 2 Oktober untuk mengumpulkan mengurus dokumen pernikahan yang direncanakannya. Para pejabat Arab Saudi mengatakan Jamal Khashoggi meninggalkan gedung konsulat tak lama setelahnya, tetapi tunangannya seorang warga Turki, Hatice Cengiz, mengatakan dia tidak pernah muncul.
Sekitar US$ 19 miliar atau Rp 288,5 triliun transaksi telah secara resmi diberitahukan kepada Kongres, menurut catatan pemerintah, sehingga tidak mungkin mereka dapat dihentikan. Ini termasuk paket pelatihan untuk pasukan dan pilot Arab Saudi dan sistem anti-rudal THAAD yang bisa menghabiskan biaya hingga US$ 15 miliar atau Rp 227 triliun.
Kantor konsulat Arab Saudi di Istambul, Turki. Wartawan, Jamal Khashoggi, dilaporkan hilang setelah terakhir kali terlihat masuk ke kantor konsulat Arab Saudi di Istambul pada Selasa, 2 Oktober 2018. Sumber: Emrah Gurel / AP/nbcnews.com
Berdasarkan undang-undang AS, penjualan militer asing utama dapat diblokir oleh Kongres. Proses peninjauan AS tidak resmi memungkinkan anggota parlemen menangguhkan untuk menunda transaksi jika mereka memiliki kekhawatiran seperti apakah senjata yang dibeli akan digunakan untuk membunuh warga sipil.
Sementara rincian semua transaksi Arab Saudi yang diblokir sebelumnya tidak akan dilakukan, salah satunya adalah rencana penjualan ratusan juta dolar peralatan berteknologi tinggi ke Arab Saudi dan Uni Emirat Arab.
Baca: Jurnalis Hilang Misterius, Ini 5 Fakta Sosok Jamal Khashoggi?
Sejak 2015, negara-negara Teluk Arab telah berjuang untuk memulihkan pemerintahan di Yaman yang diusir oleh kaum Houthi, pejuang Muslim Syiah yang berporos ke Iran. Perang Yaman telah menewaskan lebih dari 10.000 orang dan menciptakan krisis kemanusiaan paling parah di dunia saat ini.
Bahkan sebelum hilangnya Jamal Khashoggi, anggota parlemen Demokrat menahan selama berbulan-bulan empat kesepakatan peralatan militer dan penjualan senjata produksi Amerika Serikat, yang sebagian besar karena serangan Arab Saudi dan koalisinya yang menewaskan warga sipil Yaman.