TEMPO.CO, Jakarta - Komentar Donald Trump atas pernyataan pencabutan sanksi Korea Utara oleh Menteri Luar Negeri Korea Selatan, Kang Kyung-wha, menimbulkan kontroversi di Korea Selatan.
Pernyataan Menteri Luar Negeri Korea Selatan, Kang Kyung-wha, pada Rabu 10 Oktober tentang penghapusan sanksi Korea Utara atas insiden penembakan kapal perang Korsel, ditarik kembali setelah kritik dari anggota parlemen Korea Selatan, dan membuat Presiden AS Donald Trump untuk mengatakan Korea Selatan akan membutuhkan persetujuan AS untuk meringankan sanksi.
Baca: Trump Mengaku Jatuh Cinta kepada Kim Jong Un
"Mereka tidak akan melakukannya tanpa persetujuan kami. Mereka tidak melakukan apa-apa tanpa persetujuan kami," kata Trump ketika ditanya soal pertimbangan pencabutan sanksi Korea Utara, seperti dilansir dari Reuters, 11 Oktober 2018.
Menteri Luar Negeri Korea Selatan, Kang Kyung-Wha saat hadir dalam World Economic Forum (WEF) di Davos, Swiss, 25 Januari 2018. REUTERS
Trump mengatakan sanksi akan tetap berlaku sampai Korea Utara melakukan denuklirisasi.
Kang mengulang pernyataannya setelah dikritik beberapa anggota parlemen konservatif bahwa sanksi tidak dapat dihapus kecuali Korea Utara pertama meminta maaf atas serangan itu.
Sanksi terhadap Korut, yang dikenal sebagai Sanksi 24 Mei, melarang semua kapal Korea Utara memasuki pelabuhan Korea Selatan dan memotong sebagian besar sektor perdagangan antar-Korea, termasuk pariwisata, perdagangan dan bantuan.
Sanksi 24 Mei, diberlakukan setelah serangan torpedo mematikan Korea Utara terhadap kapal perang Korea Selatan, Cheonan, pada tahun 2010, yang menewaskan 46 pelaut Korea Selatan, seperti dilansir dari Yonhap.
Komentar Donald Trump terkait penghapusan sanksi memicu perdebatan panas di Korea Selatan, dengan beberapa anggota parlemen konservatif menyebutnya sebagai penghinaan.
Baca: Korea Selatan Sebut Korea Utara Masih Miliki 60 Senjata Nuklir
"Kata "Persetujuan" adalah kata yang kuat dan menghina yang dimaksudkan untuk mengatakan bahwa kita maju terlalu cepat dengan Korea Utara tanpa mencari konsensus dengan Amerika Serikat," kata Kim Jae-kyung dari partai oposisi konservatif.
Polemik pencabutan sanksi yang diupayakan Korea Utara muncul ketika Presiden Korea Selatan, Moon Jae-in, berusaha mencairkan hubungan Korea Selatan dengan Korea Utara, dengan tiga pertemuan pemimpin Korea Utara Kim Jong Un tahun ini.
Meskipun ada hubungan lintas batas dua negara tahun ini, unsur-unsur utama sanksi, seperti larangan perdagangan dan investasi, tetap berlaku, tumpang tindih dengan sanksi kepada Korea Utara atas program nuklir dan rudal balistiknya.
Sebuah bagian dari kapal angkatan laut Korea Selatan yang sudah tenggelam, Cheonan, diangkat oleh derek dari pulau Baengnyeongdo, dekat perbatasan maritim dengan Korea Utara, barat laut Seoul, 24 April 2010. [REUTERS / Choi Jae-Gu / Yonhap]
Awalnya Kang mengindikasikan bahwa pemerintah sedang mempertimbangkan penghapusan Sanksi 24 Mei sebagian besar sebagai langkah simbolis dimaksudkan untuk membantu meningkatkan hubungan Seoul-Pyongyang.
"Ini adalah perintah eksekutif yang penting. (Kami) telah terus-menerus meninjaunya," kata Kang, dikutip dari Yonhap.
Baca: Korea Selatan - Korea Utara Mulai Bersihkan Ranjau di Perbatasan
"Karena ada banyak sanksi (bilateral) yang tumpang tindih dengan yang ada di AS, itu tidak berarti pengangkatan substantif (sanksi terhadap Korea Utara)," tambah Kang.
Sementara Menteri Unifikasi Korea, Cho Myoung-gyon menolak untuk mengomentari pernyataan Donald Trump terkait Sanksi 24 Mei, tetapi mengatakan AS tidak menentang dialog dan pertukaran antara Korea Selatan-Korea Utara, dan sekutu melalui konsultasi erat.