TEMPO.CO, Jakarta - Jam tangan menunjukkan pukul 18.45 WIT saat Aldi Novel Adilang, 19 tahun, akan memasang lampu perangkap ikan terapung di perairan laut Loloda Halmahera Barat, Maluku Utara. Angin selatan yang kencang saat itu membuatnya hanya memasang satu lampu di bagian depan rumah rakit. Sesekali Ia memeriksa lampu sambil berkomunikasi dengan rekan kerjanya melalui radio.
“Malam itu ombak laut sangat besar, saya hanya bisa duduk sambil melihat lampu, dan saat sedang lihat lampu itulah tali jangkar penahan rumah rakit tiba-tiba putus,”kata Aldi kepada TEMPO dua pekan lalu.
Baca: 46 Hari Terapung di Laut, Ini Cerita Korban ke KJRI Jepang
Aldi merupakan pemuda asal Desa Langsa, Kecamatan Wori, Minahasa Utara, Sulawesi Utara yang hanyut hingga perairan Jepang. Ia sebelumnya dikabarkan hilang dan hanyut, saat bekerja memasang lampu perangkap ikan terapung di perairan laut Loloda Halmahera Barat.
Setelah 49 hari terkatung-katung di laut, Aldi diselamatkan awak kapal laut berbendera Panama saat berada di perairan laut Guam, Jepang.
Aldi pun menjadi sorotan media massa nasional maupun internasional serta media sosial.
Aldi menuturkan dirinya bekerja menjaga lampu pada perangkap ikan yang tak jauh dari Pulau Doi, Halmahera Barat . Pekerjaan itu ia tekuni sejak usia enam belas tahun, dan kali ini merupakan pekerjaannya yang kedua dengan nilai kontrak satu tahun kerja. Upah yang diterima sebesar Rp 2 juta per bulan.
Selama bekerja menjaga lampu, Aldi tidak diizinkan menginjak kaki di daeratan atau pulang. Ia harus berada di rumah apung tersebut selama setahun sesuai dengan kontrak kerjanya. Untuk kebutuhan makanan, ia akan mendapatkannya sekali untuk sebulan yang dikirimkan melalui kapal pemasok makanan.
Aldi bercerita, selama sebulan lebih hanyut, ia hanya bisa menangis sambil berteriak-teriak minta tolong dan berdoa.