TEMPO.CO, Jakarta - Yayasan Penghargaan Nobel menyesalkan sejumlah tindakan yang dilakukan Pemimpin de Facto Mynamar, Aung San Suu Kyi, terkait tindak kekerasan yang dialami etnis minoritas Rohingya di negara bagian Rakhine, Myanmar. Suu Kyi dituding telah gagal menggunakan otoritas moralnya untuk melindungi warga sipil
“Kami melihat apa yang dia lakukan di Myanmar telah dipertanyakan banyak orang. Kami berdiri untuk HAM karena itu adalah salah satu nilai utama kami,” kata CEO Yayasan Nobel, Lars Heikensten, saat diwawancarai beberapa hari sebelum penganugerahan penghargaan perdamaian tahun ini, di Stockholm, Swedia.
Baca: Surat Terbuka Peraih Nobel Kritik Aung San Suu Kyi Soal Rohingya
Dikutip dari Reuters pada Selasa, 2 Oktober 2018, Heikensten mengatakan tindakan yang diambil Aung San Suu Kyi sebagai pemimpin sipil Myanmar disesalkan, tetapi penghargaan Nobel Perdamaian yang pernah dianugerahkan kepadanya tidak bisa ditarik. Sebab peraturan Nobel tidak mengizinkan adanya penarikan penghargaan.
“Tidak masuk akal untuk mencoba menarik kembali penghargaan, itu akan menyebabkan diskusi panjang. Akan selalu ada pemenang Nobel yang melakukan hal-hal yang bertentangan, setelah mereka menerima hadiah, itu tidak bisa kami hindari,” kata Heikensten.
Anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) mengenakan topeng tokoh Myanmar Aung San Suu Kyi saat aksi teatrikal sebagai bentuk solidaritas bagi umat muslim Rohingya di depan Gedung DPRD Malang, Jawa Timur, 4 September 2017. Mereka menuntut pemerintah lebih tegas dalam bersikap dengan mendesak Myanmar keluar dari ASEAN. ANTARA/Ari Bowo Sucipto
Baca: Myanmar Tangkap Aktivis Pengkritik Aung San Suu Kyi
Sebelumnya pada Agustus 2018, tim penyidik PBB mengeluarkan laporan yang menuduh militer Myanmar telah melakukan pembunuhan massal terhadap masyarakat etnis minoritas Rohingya. Genosida atau pembantaian ini telah mengakibatkan lebih dari 700.000 etnis Rohingya mengungsi ke perbatasan ke Bangladesh-Myanmar.
Suu Kyi, memenangkan Penghargaan Nobel Perdamaian pada 1991, terkiat upayanya untuk menegakkan demokrasi di Myanmar yang ketika itu dipimpin oleh pemerintahan militer atau Junta. Dia menghabiskan 15 tahun masa hidupnya atau pada 1989-2010 sebagai tahanan rumah. Pada 2016 setelah Partai yang dipimpinnya yakni Partai Liga Nasional untuk Demokrasi memenangkan pemilu, Suu Kyi menjadi pemimpin de Facto Myanmar.
REUTERS | AQIB SOFWANDI