TEMPO.CO, Jakarta - Rusia dan Turki sepakat memberlakukan zona demiliterisasi baru di wilayah Idlib, Suriah, dan milisi pemberontak akan diminta untuk mundur pada pertengahan bulan depan.
Rusia, pendukung utama dari Presiden Suriah Bashar al-Assad dalam perjuangannya melawan pemberontak, telah mempersiapkan serangan ke kota Idlib, yang menjadi basis terakhir pemberontak dan menjadi rumah bagi sekitar 3 juta orang.
Baca: Ini 4 Hal Soal Bom Barrel yang Digunakan Militer Suriah
Namun setelah pembicaraan Vladmiri Putin dengan Presiden Turki Tayyip Erdogan, yang menentang operasi militer terhadap para pemberontak di Idlib, Menteri Pertahanan Rusia Sergei Shoigu mengumumkan tidak akan ada serangan ke Idlib, seperti dilaporkan Reuters, 18 September 2018.
Personel Tentara Pembebasan Suriah bersiap berpatroli di pinggiran Kota Jisr al-Shughur, Idlib, Suriah, Ahad, 9 September 2018. Ugur Can/DHA via AP
Erdogan, yang khawatir akan eksodus lintas perbatasan pengungsi Suriah untuk bergabung dengan 3,5 juta pengungsi yang sudah berada di Turki, mengatakan kesepakatan itu akan memungkinkan pendukung oposisi untuk tetap di tempat mereka, dan mencegah krisis kemanusiaan.
"Kami sepakat bahwa pada 15 Oktober (kami akan) membuat sepanjang garis kontak antara oposisi bersenjata dan pasukan pemerintah zona demiliterisasi hingga 15-20 kilometer, dengan penarikan para pemberontak radikal, termasuk al-Nusra," kata Putin dalam konferensi pers yang digelar di Sochi, 17 September 2018.
Baca: Perang di Idlib Suriah, Pentagon Siapkan Opsi Militer
"Pada 10 Oktober, atas saran dari presiden Turki, (kami sepakat) tentang penarikan (dari zona demiliterisasi) senjata berat, tank, sistem roket dan mortir dari semua kelompok oposisi," kata Putin.
"Zona demiliterisasi akan dipantau oleh kelompok patroli keliling unit-unit Turki dan unit-unit polisi militer Rusia."
Namun baik Putin maupun Erdogan tidak menjelaskan bagaimana mereka merencanakan untuk membedakan para pemberontak yang berpikiran radikal dari kelompok anti-Assad lainnya.
Sejumlah personel Tentara Pembebasan Suriah makan di ruang utama markas bawah tanah di pinggiran Kota Jisr al-Shughur, Idlib, Suriah, Ahad, 9 September 2018. Kini pemerintah Suriah bersama para lawannya tengah bersiap menghadapi pertempuran berdarah di Idlib. Ugur Can/DHA via AP
Idlib diduduki oleh berbagai faksi pemberontak. Yang paling kuat adalah Tahrir al-Sham, sebuah kelompok gabungan faksi milisi Islam yang didominasi oleh Front Nusra sebelumnya, yang berafiliasi Al Qaeda hingga 2016.
Baca: Media Suriah: Misil Israel Hantam Bandara di Damaskus
Kelompok Islam lainnya, dan kelompok-kelompok yang bertempur dengan nama Free Syrian Army atau Tentara Pembebasan Suriah, yang didukung Turki di bawah bendera "Front Nasional untuk Pembebasan Suriah".
Rusia dan Turki akan mengambil tindakan yang diperlukan untuk memastikan zona de-eskalasi idlib tidak diserang.
Kelompok Jabhat al-Nusra beroperasi di Idlib, Suriah, dan terafiliasi dengan kelompok al-Qaeda. Keduanya disebut sebagai teroris oleh Rusia dan Amerika Serikat. Syriahr.com
Ketika ditanya apakah pemerintah Presiden Suriah Bashar Al Assad setuju dengan rencana Putin dan Erdogan, Menteri Pertahanan Rusia Sergei Shoigu, seperti dilansir dari Associated Press, mengatakan dalam beberapa jam mendatang, kami akan setuju dengan mereka pada semua posisi yang diajukan dalam dokumen ini.
Ahmed Ramadan, seorang juru bicara untuk oposisi politik Suriah di pengasingan, mengatakan perjanjian itu menawarkan Rusia kesempatan untuk menahan ancamannya terhadap Idlib dan mewakili keberhasilan tekanan diplomatik dari Turki dan Amerika Serikat, yang juga menentang serangan ke Idlib.
Baca: Perang Suriah, 6 Faksi Militer Kuasai Suriah
Ramadhan juga mengatakan kesepakatan Rusia dan Turki menawarkan pemerintah Suriah dan Rusia salah satu tuntutan utama mereka, yakni untuk mengamankan jalan raya yang melewati Idlib dan menghubungkan Suriah utara dengan kota-kota lain.