TEMPO.CO, Hong Kong - Seiring mendekatnya badai Mangkhut ke pesisir selatan Cina dan Hong Kong, sebagian warga mengungsi mencari tempat yang lebih aman.
Baca:
Otoritas Filipina Naikkan Bahaya Badai Mangkhut Jadi Sinyal Empat
Namun Fan Ming dan ibunya termasuk penduduk di desa Tai O yang bertekad tetap tinggal di rumah mereka saat badai tiba pada Ahad, 16 September 2018. Desa ini terletak di sisi barat Pulau Lantau, Hong Kong.
Fan tiba di desa itu untuk membantu ibunya bersiap menghadapi badai. “Ibu saya biasa tinggal di perahu. Dia bakal tahu jika kami butuh evakuasi,” kata Fan seperti dilansir media South China Morning Post pada Sabtu, 15 September 2018. “Kami tidak akan pergi kecuali air sudah sampai ke dada.”
Foto:
Badai Mangkhut Terjang Filipina
Badai besar Mangkhut ini, yang diperkirakan sebagai yang terbesar untuk kawasan Filipina pada 2018, menghantam Pulau Luzon, yang terletak di kawasan utara pada Sabtu subuh tadi.
Badai ini berhembus dengan kecepatan sekitar 200 kilometer per jam dan membawa hujan yang sangat deras. Seperti dilansir Channel News Asia, tiga orang tewas, dan badai ini menyebabkan banjir serta padamnya listrik di sejumlah tempat di pulau itu.
Seorang warga melintas diantara kios yang rusak akibat terjangan angin kencang Topan Mangkhut di kota Tuguegrao, Provinsi Cagayan, Filipina, 15 September 2018. Topan Mangkhut menurut para pakar cuaca merupakan badai terbesar tahun ini, merobohkan pepohonan, menghancurkan atap rumah dan mematikan aliran listrik. AP
Selain Fan Ming, sebagian penduduk desa nelayan Tai O juga memilih tinggal di rumahnya sambil melakukan persiapan. Ada sekitar 2000 warga, yang sebagian tinggal di perahu di atas sungai yang mengalir di desa itu.
Baca:
Ibu dari Fan memiliki resto seafood dan mereka tinggal di bagian darat dari kampung ini. Sejumlah relawan terlihat membantu mengangkat lemari kulkas ke tempat yang lebih tinggi. Namun mereka tidak memiiki kantong pasir untuk menghadang banjir yang bakal terjadi.
Sejumlah warga di Pulau Luzon terlihat membawa payung di jalan saat badai super Mangkhut berhembus kencang pada Sabtu, 15 September 2018. AP via Philstar
Seorang penduduk desa lainnya, Yip berusia 85 tahun, mengikat gerobak sayuran miliknya ke sebuah tiang. Dia mengaku tinggal bersama istrinya di rumah berlantai tiga. “Air banjir tidak sampai kena kami pada tahun lalu,” kata Yip. “Saya berharap angin topan tahun ini tidak terlalu kuat.”
Para relawan tadi, yang berjumlah sekitar 80 orang, diorganisir oleh Lau King-cheung. Mereka berkeliling desa Tai O untuk membantu warga yang memilih tetap tinggal di rumah saat badai datang pada Ahad pagi, 16 September 2018 setelah pada Sabtu pagi menghantam Pulau Luzon, Filipina.
Baca:
Mereka bekerja sejak pukul sepuluh pagi dan membagi diri dalam beberapa grup untuk menyebar dan memberikan bantuan. Mereka berupaya membantu penduduk desa agar tidak mengalami masalah besar saat badai tiba. Misalnya dengan menaruh peralatan elektronik mahal ditempat yang lebih tinggi dan mengikatnya agar tidak jatuh ke lantai, yang diperkirakan bakal terkena banjir.
Para relawan juga berupaya mengarahkan warga untuk pindah ke lokasi penampungan sementara yang disiapkan pemerintah. Ini terutama untuk warga yang tinggal di rumah semipermanen dan terkena banjir pada badai tahun lalu. Namun, banyak warga yang masih enggan pindah.
Citra badai Florence (kiri) dan badan super Mangkhut (kanan) seperti terekam dari satelit cuaca. CNN
“Saat ini cuaca nampak begitu bagus sehingga sebagian berpikir badai tidak akan terlalu buruk,” kata Lau.
Seorang insinyur di desa Tai O, Cheung, mencoba memperkuat atap rumahnya dengan memasang lebih banyak mur. “Sebagian atap terbang terkena badai pada tahun lalu. Jadi saya perkuat untuk jaga-jaga,” kata dia.
Menurut Direktur Observasi di Hong Kong, yang berbatasan dengan Cina, Chen Cho-ming, badai super Mangkhut tetap berbahaya sehingga masyarakat harus berhati-hati. Sebagian warga diminta segera pindah ke penampungan sementara.