TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Thailand telah melonggarkan sejumlah batasan aktivitas pada partai-partai politik di Negeri Gajah Putih. Keputusan ini pertama kali diterbitkan setelah kudeta militer pada 2014 dan menjadi sinyalemen pemilu akan segera digelar.
Setelah pemerintahan Mantan Perdana Menteri, Yingluck Shinawatra, digulingkan pada 2014, Thailand saat ini dipimpin oleh pemerintahan militer atau disebut Junta. Pemerintah Thailand sudah berjanji akan segera menggelar pemilu, tetapi berulang kali pula menundanya.
Baca: Pemilu Thailand Diproyeksi Bakal Ditunda Lagi
Demonstran anti-kudeta memakai topeng kertas dengan tulisan kebebasan dan pemilu sambil mengangkat tiga jari saat protes di pusat perbelanjaan di Bangkok, Thailand (1/6). Sekitar 30 orang lakukan protes di dalam mal di daerah Asoke. REUTERS/Damir Sagolj
Situs RT.com pada Jumat, 14 September 2018 mewartakan pada pekan ini Kerajaan Thailand telah memberikan pengesahan aturan hukum mengenai pemilu anggota parlemen dan pemilihan anggota senat. Ini semua telah menjadi sinyalemen jelas jika jadwal pemilu untuk mengembalikan Thailand pada pemerintahan yang demokratis akan segera diwujudkan.
Baca: Mantan PM Thailand Thaksin Shinawatra Bebas dari Dakwaan
Dikutip dari news.thaivisa.com pada Sabtu, 15 September 2018, Wakil Perdana Menteri Thailand untuk bidang kementerian, Prawit Wongsuwan, menekankan tanggal pelaksanaan pemilu Thailand tidak berubah. Sedangkan Wakil Perdana Menteri Thailand untuk bidang hukum, Wissanu Krea-ngam, mengatakan pemilu Thailand akan dilakukan pada 24 Februari 2018.
Sebelumnya, Dewan Nasional untuk Perdamaian dan Pemerintahan atau NCPO sebelumnya mengatakan pemilu kemungkinan bisa dilakukan pada 24 Februari 2019 atau 5 Mei 2019. Namun pemilihan tanggal tersebut dilarang oleh konstitusi, yang mengatur pemilu seharusnya dilangsungkan dalam tempo 150 hari setelah semua undang-undang pemilihan umum diberlakukan.
Akademisi dan politisi di Thailand menyuarakan kekhawatiran karena penundaan pemilu yang berlarut-larut sama dengan memberikan kepada pemerintahan Junta kekuasaan untuk melakukan apapun, termasuk meniadakan pemilu dan hasilnya. Sirawith Serithiwat, aktivis pro-demokrasi dan Ketua Kelompok ‘Kami Menginginkan Pemilu’ mengatakan apapun bisa terjadi selama pemerintahan Junta masih memegang kekuasaan.