TEMPO.CO, Jakarta - Dua partai berpengaruh di parlemen Irak mendesak Perdana Menteri Haider al-Abadi mengundurkan diri menyusul kerusuhan di kota sebelah selatan, Basra. Kawasan ini, menurut sejumlah laporan, dilanda kerusuhan hebat selama unjuk rasa. Puncaknya pada Jumat 7 September 2018.
"Kerusuhan tersebut menimbulkan korban jiwa. Sedikitnya 12 orang tewas, kantor konsulat Iran dibakar dan terjadinya penembakan roket terhadap bandara," Al Jazeera melaporkan.
Baca: Konsulat Iran di Irak Dibakar, Teheran Dituding Intervensi
Petugas mencari ranjau darat yang kemungkinan masih tertanam di desa Bitr, di distrik Al-Tanouma, timur Basra, Irak, 25 Februari 2018. Irak meminta masyarakat internasional membantu membersihkan sekitar 20 juta ranjau darat dan bom curah di wilayahnya. REUTERS/Essam Al-Sudani
Dalam sebuah sidang darurat pada Sabtu 8 September 2018, Koalisi Sairoon yang dipimpin oleh pemimpin Syiah populer, Muqtada al-Sadr, yang juga memenangkan kursi mayoritas dalam pemilu Mei, mendesak pemerintahan al-Abadi mengundurkan diri.
"Kami meminta pemerintah meminta maaf kepada rakyat dan segera mengundurkan diri," kata juru bicara al-Sadr, Hassan al-Aqouli.Irak Gelar Sidang Perdana Parlemen pada 1 Juli 2014
Ahmed al-Assadi, juru bicara untuk partai terbesar kedua Aliansi Fateh, juga menolak atas kegagalan pemerintah memecahkan krisis di Basra.
Baca: Basrah, Kota Tak Tersentuh Perang
Basra, kota terbesar kedua setelah Bagdad, ibu kota Irak, dihantam kerusuhan sejak Selasa 4 September 2018. Para pengunjuk rasa, semula, menuntut perbaikan kondisi ekonomi termasuk mengatasi pengangguran di sana. Kerusuhan itu memuncak ketika demonstran membakar kantor konsulat Iran di Basra. Mereka juga menyerang kantor pro-milisi Teheran dan partai politik berafiliasi dengan Iran.