TEMPO.CO, Jakarta - Hudhayfa al-Shahad, 20 tahun, membungkus kepalanya dengan sebuah plastik putih yang dihubungkan pada cangkir karton warna-warni yang dilubangi dan dilapisi kapas dan arang. Anak-anak berkerumun memperhatikan Hudhayfa mengenakkan masker buatan itu. Banyak dari mereka tak faham masker itu untuk menghadapi serangan senjata kimia.
"Kami sedang mempersiapkan sedikit yang bisa kami lakukan. Ini adalah masker primitif anti-gas beracun yang bisa kami pasangkan pada mulut anak-anak jika kami diserang senjata kimia," ujarnya.
Hudhayfa tinggal di sebuah tempat bersama istrinya yang sedang mengandung dan tiga anak-anaknya. Dia dan keluarganya berbagi tempat tinggal dengan 14 orang lainnya.
Baca: PBB: Apapun Alasan, Penggunaan Senjata Kimia Tak Bisa Dibenarkan
Masker itu dibuat secara manual sebagai antisipasi jika serangan senjata kimia terjadi lagi di Provinsi Idlib, Suriah. Kakak Hudhayfa, Ahmed Abdulkarim al-Shahad, 35 tahun, seorang kuli bangunan, memamerkan sebuah ruang bawah tanah tempat keluarganya berlindung dari pengeboman sejak 2012.
"Persiapan militer yang kami lihat sepertinya sudah siap. Kami sebagai warga sipil juga mulai mempersiapkan gua-gua perlindungan," kata Ahmed.
Masyarakat sipil Suriah yang tinggal di kantong-kantong pemberontak sedang mempersiapkan persediaan makanan dan menggali ruang perlindungan bawah tanah menyusul kemungkinan terjadinya sebuah serangan militer.
Dikutip dari Reuters pada Jumat, 7 September 2018, sekitar tiga juta orang tinggal di area utara Suriah, sebuah wilayah yang dikuasai pemberontak. Sebagian besar dari jumlah itu tinggal di Provinsi Idlib, Latakia, Hama dan Provinsi Aleppo.
Hudhayfa al-Shaha, mencoba topeng gas buatannya yang terbuat dari gelas kertas, arang dan kapas di Idlib, Suriah, 3 September 2018. REUTERS/Khalil Ashawi
Baca: OPCW Pastikan Senjata Kimia Digunakan di Suriah
Rusia, sekutu Suriah, telah melancarkan serangan udara ke Provinsi Idlib pada Selasa, 4 September 2018, setelah berminggu-minggu memborbardir kantung-kantung persembunyian pemberontak. Turki berharap pertemuan dengan para pemimpin Iran dan Rusia di Teheran pada Jumat, 7 September 2018 diharapkan bisa menghindarkan Provinsi Idlib dari sebuah serangan.
Namun demikian, tujuh tahun meletupnya perang sipil Suriah telah mengajarkan Ahmad untuk selalu bersiap diri. Keluarganya saat ini telah memperluas ruang bawah tanah dan tempat perlindungan dari serangan dalam lima tahun terakhir. Ruang perlindungan itu pun dilengkapi dengan persediaan makanan.
"Saya bersama istri dan anak-anak, telah menggali perut bumi dalam dua bulan tanpa henti. Gua ini sekarang perlindungan. Kami telah membersihkannya setelah terbengkalai cukup lama," kata Ahmad.
Hudhayfa al-Shaha, memakaikan topeng gas yang terbuat dari gelas plastik, arang dan kapas pada anak-anak di Idlib, Suriah, 3 September 2018. REUTERS/Khalil Ashawi
Pada April 2017, sebuah pesawat tempur yang diduga jet tempur pemerintah Suriah menjatuhkan zat sarin ke kota Khan Sheikhoun di Idlib. peristiwa ini menewaskan lebih dari 80 orang. PBB dalam laporannya menyebut serangan itu juga menggunakan zat chlorine.
Damaskus dan sekutunya Rusia, sama-sama menyangkal bertanggung jawab atas serangan ini dan bersikukuh tidak menggunakan zat kimia. Kondisi ini menciptakan ketakutan penduduk Idlib. Washington memperingatkan Presiden Suriah, Basyar al-Assad, akan menggunakan senjata kimia jika Assad menggunakannya sebagai pertahanan.