TEMPO.CO, Jakarta - Pembantaian terhadap penduduk etnis minoritas Rohingya, Myanmar, pada 2017 harus segera ditindak lanjuti dan harus ada pihaknya yang dimintai pertanggungjawaban atas peristiwa ini. Laporan tim pencari fakta PBB yang dipublikasi pada Senin, 27 Agustus 2018, berhasil mendapatkan bukti dari para saksi utama dan menyoroti perlunya bagi Myanmar untuk menyeret para pelaku.
"Sudah disoroti adanya kehadiran personil militer, kurangnya perhatian pemerintah Myanmar dan kurangnya respon dari PBB. Jadi sekarang ada kebutuhan untuk melakukan langkah-langkah," kata Vitit Muntarbhorn, pakar HAM dan profesor hukum di Universitas Chulalongkorn, Thailand, saat ditemui dalam seminar 'dialog nasional Indonesia dalam kerangka PBB tentang analisis risiko' yang diselenggarakan oleh CSIS, Rabu, 29 Agustus 2018.
Baca: Biksu Myanmar Anti Rohingya Masuk Daftar Hitam Facebook
Vitit Muntarbhorn, kiri, pakar hak asasi manusia internasional dan profesor hukum di Universitas Chulalongkorn di Bangkok. Sumber: TEMPO/Suci Sekar
Baca: Amerika Minta Jenderal Myanmar Pelanggar HAM Rohingya Diadili
Menurut Muntarbhorn, setidaknya ada tiga langkah yang bisa ditempuh untuk menyeret pihak-pihak yang bertanggung jawab atas peristiwa ini. Pertama, harus dibuka akses ke pengadilan kriminal internasional agar dilakukan investigasi dugaan adanya kejahatan perang.
Kedua, membangun mekanisme untuk mengkonsolidasikan temuan fakta serta memantau apa yang telah ditetapkan, dilaksanakan. Ketiga, adanya persidangan di luar Myanmar, misalnya di Eropa, untuk mengungkap tindak kejahatan ini.
"Ada pengadilan di luar Myanmar untuk mengungkap kebenaran walau pelaku tidak di bawa ke negara yang menyidangkan, misalnya di negara di kawasan Eropa. Dibutuhkan pula langkah nyata dari PBB untuk mengungkap seluruh pelaku, khususnya di kalangan militer, adanya dialog dan pemantauan terkait langkah yang diambil agar benar-benar diterapkan dan dijalankan," kata Muntarbhorn.
Tindak kekerasan yang dialami penduduk etnis minoritas Rohingya sudah beberapa kali terjadi. Puncaknya pada 25 Agustus 2017 ketika terjadi kerusuhan berdarah hingga menyebabkan masyarakat Rohingya kehilangan tempat tinggal dan mengungsi ke negara tetangga.
Laporan sejumlah media menyebut puluhan pos polisi dan pangkalan militer Myanmar diserang oleh militan suku Rohingya. Bentrokan ini menyebabkan lebih dari 400 orang dari kedua belah pihak tewas.
Sumber di pemerintah Myanmar menuding militan Rohingya yang melakukan pembakaran rumah penduduk dan membunuh para penghuninya. Namun kelompok HAM dan penduduk etnis Rohingya yang mengungsi ke Bangladesh mengatakan, personil militer Myanmar yang memaksa mereka keluar.