TEMPO.CO, Jakarta - Venezuela menghadapi hiperinflasi hingga membuat nilai mata uang bolivar tak ada harganya. Hiperinflasi telah mendesak masyarakat Venezuela membeli barang-barang kebutuhan pokok dengan setumpuk uang.
Dikutip dari news.com.au pada Minggu, 26 Agustus 2018, satu ekor ayam dengan seberat 2,4 kilogram dijual di sebuah pasar di ibu kota Carakas dengan harga 14.600.000 bolivar atau setara Rp 2,6 juta. Sedangkan tisu toilet dijual 2.600.000 bolivars atau sekitar Rp 152 ribu.
Baca: Hiperinflasi di Venezuela, 1 Ekor Ayam Dihargai 14 juta
Sebelumnya pada Senin, 20 Agustus 2018, Venezuela telah menyederhanakan mata uangnya dengan menerbitkan ‘kedaulatan bolivar’ yang nilainya setara dengan 100 ribu bolivar.
Untuk menyelamatkan masyarakat dari hiperinflasi, pemerintah Venezuela mengumumkan kenaikan upah minimum sebanyak 3 ribu persen, namun saat yang sama Venezuela menaikkan pajak dan berencana mematok mata uang bolivar ke petro serta mendukung cryptocurrency. Langkah ini cukup mengejutkan karena banyak negara menilai cryptocurrency adalah sebuah penipuan.
Menurut ekonom, Steve Hanke dari Universitas Johns Hopkins, menghapuskan deretan nol dari mata uang tidak akan membawa dampak apapun. Sebab secara makna, nilainya sama saja.
“Sebelumnya rata-rata inflasi sekitar 61,500 persen per tahun, sekarang sudah naik 65,500 persen. Jadi sangat jelas, tidak ada yang berubah. Mata uang bolivar diambang kematian dan kondisi kemungkinan memburuk. Seberapa buruk dan berapa lama ini akan berlangsung? Tidak ada yang tahu. Anda tidak bisa memproyeksikan durasi dan hiperinflasi,” kata Hanke.
Baca: Akibat Krisis, Warga Venezuela ke Brazil untuk Melahirkan
Hanke mengatakan satu-satunya cara untuk menyelamatkan bolivar adalah dengan menggantikannya dengan mata uang dollar Amerika Serikat. Hal ini pernah pula dilakukan oleh Ekuador pada 2001.
Krisis hiperinflasi di Venezuela saat ini bisa dibilang cukup konservatif. Sebab berdasarkan standar sejarah, hiperinflasi di Venezuela sekarang berada di urutan ke 23 dari 55.
Hiperinflasi terburuk dalam sejarah dialami oleh Hungaria dengan inflasi harian 207 persen. Urutan kedua adalah Zimbabwe, pada 2008 harga barang kebutuhan di negara itu naik dua kali lipat setiap hari dalam tempo 24 jam. Posisi ketiga yakni Yugoslavia yang pada 1994 inflasi bulanan menyentuh angka 313.