TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, mempertimbangkan untuk membuang smartphone-nya karena khawatir bahwa CIA terus menguping pembicaraannya dan menggunakan informasi pribadinya untuk membunuhnya.
"Saya tahu, AS mendengarkan. Saya yakin itu CIA, itu juga yang akan membunuh saya," kata Duterte saat di Kota Cebu, seperti dilaporkan Russia Today, 22 Agustus 2018.
Baca: Duterte Ancam akan Bunuh Polisi yang Terlibat Narkoba
Rodrigo Durterte menyebut bahwa AS kemungkinan menginginkan kematiannya karena kebijakan luar negerinya yang independen dan kesediaannya untuk memperoleh senjata dari pemasok lain.
Untuk mencegah kemungkinan gangguan smartphone oleh kekuatan luar, yang dikatakan Duterte bisa merujuk pada "Rusia, Cina, Israel, dan mungkin Indonesia," pemimpin berusia 73 tahun itu mempertimbangkan untuk kembali menggunakan ponsel lama, karena penyadapan dan peretasan lebih sulit.
Presiden Filipina Rodridgo Duterte menggelar upacara penandatanganan UU Bangsamoro Organic Law di Istana Malacanang pada Senin, 6 Agustus 2018.
Karena Duterte bukan pemimpin yang paham teknologi, dia bercanda ketika mengingat bagaimana dia pernah mengirim pesan rahasia ke semua kontak Viber-nya setelah secara tidak sengaja mengklik fitur "kirim semua".
Duterte telah lama khawatir bahwa CIA mungkin akan melakukan pembalasan di tengah hubungan bilateral yang memburuk dengan Amerika Serikat. Pada Jumat lalu, 17 Agustus 2018, Duterte sekali lagi mengatakan bahwa CIA "menginginkan saya mati".
Baca: Antikorupsi, Rodrigo Duterte Saksikan Mobil Mewah Dibuldoser
Hubungan Amerika Serikat dan Filipina merenggah setelah menolak menjual senapan serbu ke Filipina, karena pelanggaran hak asasi manusia negara itu di tengah perang melawan narkoba. Ini memaksa Duterte mencari pemasok baru. Filipina, yang telah lama bergantung pada AS untuk keperluan senjata, beralih ke Cina dan Rusia untuk mengisi persenjataannya.
Presiden Filipina, Rodrigo Duterte berbincang dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin disela pertemuan Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) di Lima, Peru, 19 November 2016. Mikhail Klimentyev, Sputnik, Kremlin Pool Photo via AP
Filipina dan Rusia menandatangani perjanjian kerjasama militer tahun lalu, dan Rusia sudah memasok lebih dari 5.000 senapan serbu AK Kalashnikov ke Filipina secara gratis, untuk membantu memerangi pemberontakan militan ISIS. Meskipun ada tekanan dari AS, pemerintah Duterte juga mempertimbangkan pembelian kapal patroli, helikopter, kendaraan lapis baja dan bahkan kapal selam dari Rusia.
Pada Selasa 21 Agustus, Rodrigo Duterte sekali lagi menekankan rencananya mencari pemasok senjata baru, setelah Asisten Menteri Pertahanan AS untuk Keamanan Asia dan Pasifik, Randall Schriver, meminta Filipina untuk berpikir berhati-hati tentang konsekuensi dari memperoleh senjata dari Rusia.
Baca: Sara Duterte Bakal Lanjutkan Karir Politik Ayahnya?
"Anda tidak hanya membeli kemampuan, Anda berinvestasi dalam suatu hubungan," kata Schriver awal bulan ini.
"Hubungan? Kapan itu benar-benar hubungan mutualisme dan rasa hormat?" Tanya Duterte, menekankan bahwa sementara AS enggan menyediakan peralatan militer, namun Rusia menawarkan pasokan baru, tanpa prasyarat, untuk Filipina.