TEMPO.CO, Jakarta - Amerika Serikat, pada Jumat 17 Agustus 2018, mengumumkan memberikan sanksi kepada empat komandan militer dan kepolisian serta dua unit militer Myanmar lainnya terkait dengan kebijakan pembersihan etnis muslim Rohingya.
"Aksi mereka bencana kemanusiaan terburuk di Asia Tenggara," tulis kantor berita Reuters, Jumat.
Baca: Amerika Serikat Puji Pemilu Myanmar
Seorang pemberontak, tentara Kemerdekaan Kachin berdiri di garda terdepan di luar Laiza, markas kelompok bersenjata di negara bagian Kachin utara, Myanmar, 20 Maret 2018. Sementara dunia terfokus pada serangan terhadap umat Muslim Rohingya, di Myanmar juga terdapat konflik dengan militer Myanmar yakni pemberontak Kachin yang kebanyakan beragama Kristen. (AP Photo/Esther Htusan)
Sebelumnya, Kementerian Keuangan Amerika Serikat mengeluarkan sanksi terhadap pemerintahan Myanmar dengan memperketat bantuan keuangan ke negeri itu. Sikap Amerika Serikat tersebut menyusul tindakan keras Myanmar kepada etnis minorits muslim Rohingya yang dimulai sejak tahun lalu. Tindakan militer Myanmar itu mengakibatkan lebih dari 700 ribu orang mengungsi ke Bangladesh dan ribuan orang lainnya tewas.
Namun demikian, keputusan pemerintahan Donald Trump tidak menyasar komandan tinggi militer Myanmar dan tidak menyebut aksi anti-Rohingya sebagai kejahatan kemanusiaan atau genosida pada sidang PBB.Jenderal Senior Min Aung Hlaing memeriksa pasukan militer di Nay Pyi Taw pada Hari Angkatan Bersenjata Myanmar, Maret 2018. (Steve Tickner | Frontier)
Menurut sejumlah pejabat, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo, selain mengumumkan sanksi kepada Myanmar juga sedang mempersiapkan pembentukan tim pencari fakta atas tindakan Myanmar terhadap etnis Rohingya di negara bagian Rakhine.
Baca: Amerika Serikat: Kuburan Massal Rohingya di Myanmar Mengganggu
Militer Myanmar melakukan serangan besar-besaran terhadap kaum Rohingya di Rakhine pada Agustus 2017. Tindakan itu dibarengi denga pembakaran sawah ladang, perumahan, perkosaan dan tindakan kejahatan kemanusiaan lainnya. Dalam aksi tersebut, setidaknya 200 orang tewas dan ribuan lainnya mengungsi ke tempat aman, termasuk 700 ribu tinggal di tenda darurat di Bangladesh.