TEMPO.CO, Jakarta - Parlemen Malaysia pada Kamis, 16 Agustus 2018, secara resmi mencabut undang-undang anti-berita bohong, yang diperkenalkan saat pemerintahan mantan perdana menteri Najib Razak. Parlemen Malaysia mendebat mosi pencabutan undang-undang ini selama tiga jam sebelum akhirnya menyetujui pencabutan melalui pemungutan suara.
Keputusan ini disambut gembira kelompok-kelompok hak asasi manusia (HAM).
“Undang-undang anti-berita bohong benar-benar dirancang untuk membungkam sejumlah otoritas berwenang dan menghentikan perdebatan publik. Seharusnya undang-undang ini tidak boleh diloloskan sejak pertama,” kata Teddy Baguilat, anggota dewan bidang HAM.
Baca: Sri Mulyani Ancam Pidanakan Pemilik Akun Ini karena Berita Bohong
Ilustrasi koran. Bbc.co.uk
Malaysia termasuk di antara sedikit negara yang memperkenalkan undang-undang anti-berita bohong, walau negara-negara di kawasan Asia Tenggara, seperti Singapura dan Filipina, mengatakan sedang mempertimbangkan cara meredam berita bohong. Sedangkan Jerman pada 2017 telah menyetujui sebuah rencana untuk menjatuhkan denda kepada operator media sosial jika mereka gagal menghapus unggahan bernada kebencian.
Baca: Cabut UU Anti-Berita Bohong Target Pemerintahan Baru Malaysia
Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammad pernah menjadi korban berita bohong saat otoritas berwenang menginvestigasi klaim yang ternyata palsu, bahwa pesawat terbang Mahathir disabotase.
Pemerintahan mantan perdana menteri Najib pada April 2018 mengesahkan undang-undang anti-berita bohong, yang akan menjatuhkan denda sampai 500 ribu ringgit (sekitar Rp 1,8 juta) atau penjara hingga enam tahun kepada pembuat dan penyebar berita bohong. Undang-undang ini segera dihujani kritik dan dituding sebagai upaya Najib untuk membungkam tuduhan korupsi dan salah kelola lembaga investasi 1MDB, yang menyeret namanya.