TEMPO.CO, Jakarta - Perdana Menteri Kamboja, Hun Sen, telah berkuasa di Kamboja selama 33 tahun dan kini ingin mempertahankan tampuk jabatan dalam pemilu Kamboja yang digelar pada 29 Juli 2018. Namun pemilu ini dikritik banyak pihak karena tidak menyertakan partai oposisi setelah dibubarkan setahun lalu.
Seperti dikutip dari The Economist, pada November 2017, Mahkamah Agung Kamboja memutuskan bahwa partai oposisi, CNRP, adalah bagian dari rencana pihak asing untuk menggulingkan Partai Rakyat Kamboja (CPP), partai mayoritas yang berkuasa. Banyak anggota CNRP telah melarikan diri dari Kamboja. Mereka yang tetap bertahan didiskualifikasi dari pencalonan pemilu. Sejak September, presiden CNRP, Kem Sokha, telah ditahan tanpa porses peradilan.
Baca: Pemilu Kamboja, Hun Sen Yakin Masyarakat Masih Percaya Partainya
Dilansir dari Britannica, 29 Juli 2018, Hun Sen lahir 4 April 1951 di Provinsi Kâmpóng Cham, Kamboja. Ia telah menjadi perdana menteri Kamboja sejak 1985. Hun Sen dididik di sebuah biara Buddha di Phnom Penh. Pada akhir 1960-an ia bergabung dengan Partai Komunis Kampuchea dan pada 1970 bergabung dengan Khmer Merah. Selama rezim Pol Pot (1975-1979), ketika dua juta orang Kamboja kehilangan nyawa, Hun Sen melarikan diri ke Vietnam, bergabung dengan pasukan di sana dan beralih melawan Khmer Merah. Ia kembali ke Kamboja setelah Vietnam mendirikan pemerintahan baru pada 1979 dan ia diangkat menjadi menteri urusan luar negeri.
Hun Sen diangkat sebagai menteri luar negeri dalam pemerintahan boneka baru sebelum dia berusia 30 tahun. Pada 1985 ia adalah perdana menteri, jabatan yang ia tolak untuk mundur bahkan setelah pemilu yang diawasi oleh PBB pada 1993, yang berakhir dengan 'parlemen gantung' dengan partai pendukung kerajaan, FUNCINPEC, yang memegang jumlah kursi terbanyak. Dia enggan berbagi kekuasaan dengan pemimpin royalis, Pangeran Norodom Ranariddh, hingga 1997, ketika dia mengusirnya.
Perdana Menteri Kamboja, Hun Sen, memberikan keterangan kepada para pengamat internasional yang akan mengawasi jalannya pemilu Kamboja 2018, Sabtu, 28 Juli 2018. Sumber: TEMPO/Suci Sekar
Namun Pangeran Ranariddh akhirnya berdamai dengan Hun Sen. Pangeran sendiri menghabiskan hari-hari tuanya di Raffles Hotel era kolonial. Saudara tirinya yang lebih lunak, Norodom Sihamoni, yang pernah belajar pembuatan film di Pyongyang dan mengajar balet di Paris, adalah raja simbolis, karena tangan kekuasaan sepenuhnya dipegang Hun Sen.
Baca: Bun Rany, Perempuan Kesayangan Hun Sen yang Peduli Kesehatan
Meskipun dengan pertumbuhan ekonomi hampir 7% per tahun, beberapa pengamat melihat ironi pada elit politik Kamboja. Perampasan tanah dari petani adalah salah satu ironi pertumbuhan ekonomi Kamboja.
Pemerintahan Hun Sen menyerahkan Cina hak untuk mengimpor dan menjual rokok atau minuman keras dengan ketentuan yang menguntungkan berarti lebih sedikit pendapatan dari pajak.
Ironis lain tampak pada sekolah-sekolah Hun Sen yang rusak, dan murid-murid yang ingin lulus ujian harus menyuap guru-guru yang tidak digaji atau kurang gaji. Yang termiskin mendapat sedikit perawatan kesehatan. Ketimpangan tetap ekstrim. Bahkan upah minimum Hun Sen untuk pekerja garmen menetapkan harga murah jika disanding harga buruh dunia.
PM Malaysia Najib Razak, Sultan Brunei Hassanal Bolkiah, PM Kamboja Hun Sen, dan Presiden RI Jokowi usai berpose di pembukaan pertemuan ASEAN ke-25 di Naypyitaw, Myanmar, 12 November 2014. AP/Gemunu Amarasinghe
Kritik demi kritik terkait pemilu dilontarkan terutama dari negarabarat. Namun Hun Sen tidak peduli sebab ia telah menakar bahwa Eropa tidak akan mengakhiri akses istimewa untuk ekspor tekstil Kamboja. Terlebih, ia memiliki Cina di belakangnya, memberikan uang dan dukungan moral.
Namun ada fakta unik menyertai Hun Sen. Dilansir dari Lowy Institute, Hun Sen berupaya membentuk dirinya ke dalam mitos. Ia dijuluki "Samdech Akka Moha Sena Padei Techo Hun Sen" yang diterjemahkan menjadi "Panglima Agung Tertinggi yang Terhormat dari Pasukan Agung Jaya".
Selama tiga dekade, pria yang berasal dari lingkungan sederhana menciptakan personalisasi kultus, usaha yang ia lakukan dalam beberapa tahun terakhir, sebagian karena meningkatnya penggunaan media sosial di Kamboja. Di negara berpenduduk 15 juta orang, Hun Sen telah mengumpulkan sekitar 10 juta "Suka" Facebook, meskipun keabsahannya dipertanyakan, dan merupakan kepala negara keempat yang paling "disukai" di dunia, di belakang tokoh seperti Narendra Modi.
Baca: Pemilu Kamboja, Hun Sen Berikan Hak Suara
Dia juga membagikan amplop berisi US$ 5 atau RP 72 ribu kepada lebih dari setengah juta pekerja garmen dan US$ 200 atau Rp 2,8 juta untuk pekerja yang hamil selama sejumlah pidato selama setahun terakhir.
Pekan lalu, dalam salah satu pidatonya, Hun Sen mengatakan kepada pekerja pabrik bahwa jika dia gagal memenuhi janji pemilihannya, "tolong kalian semua berdiri melawan saya dalam pemberontakan untuk menggulingkan Hun Sen. saya serius, Saya tidak bercanda".
Tetapi saran seperti itu mustahil sebab pemberontakan semacam itu akan padam sebelum sempat diorganisir. Pemerintah sudah melakukan penangkapan untuk unggahan Facebook, yang secara efektif mengawasi kritik dan kebebasan berpendapat.
Baca: Ada Bantuan Dana Asing Miliaran Rupiah di Pemilu Kamboja
Pemberontakan pada akhirnya akan gagal karena orang-orang setia Hun Sen adalah orang-orang yang memegang senjata. Laporan Human Rights Watch menyatakan bahwa mereka bersedia untuk menggunakannya.
Laporan Human Rights Watch pekan lalu menyebut "selusin orang kotor" Kamboja, merujuk pada 12 tokoh kunci di eselon teratas angkatan bersenjata dan aparat kepolisian yang diduga melakukan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap kemanusiaan di bawah wewenang Hun Sen.