TEMPO.CO, Jakarta - Beberapa bulan setelah Irak menyatakan kemenangan atas ISIS, dan kekhalifahan Baghdadi diyakini hancur, namun para pejuangnya kembali ke Irak dengan aksi penculikan penculikan dan pembunuhan.
Seiring hancurnya impian untuk mendirikan Khilafah di Timur Tengah, ISIS mulai beralih ke taktik gerilya setelah serangan masif konvensional gagal melemahkan pemerintah di Baghdad, menurut militer, intelijen dan pejabat pemerintah, seperti dilaporkan Reuters, 24 Juli 2018.
Baca: ISIS di Irak Menyebar Teror Lewat Penculikan
ISIS kembali membentuk diri kembali usai beberapa bulan sebelum Baghdad mengumumkan bahwa mereka telah mengalahkan kelompok itu pada Desember 2017, menurut para pejabat intelijen yang mengatakan ISIS akan mengadopsi taktik gerilya ketika tidak bisa lagi menguasai wilayah.
Irak kini menghadapi peningkatan kasus penculikan dan pembunuhan, terutama di provinsi Kirkuk, Diyala, dan Salahuddin, sejak pemilihan umum pada Mei. Ini menunjukkan pemerintah akan menghadapi tekanan baru dari ISIS yang pernah menduduki sepertiga dari Irak selama tiga tahun pemerintahan teror.
Bulan lalu setidaknya ada 83 kasus penculikan, pembunuhan atau keduanya di tiga provinsi. Sebagian besar terjadi di jalan raya yang menghubungkan Baghdad ke provinsi Kirkuk. Pada Mei, jumlah insiden di daerah itu berjumlah 30 kasus, sementara pada Maret ada tujuh kasus, menurut Hisham al-Hashimi, seorang ahli ISIS yang menjadi penasihat pemerintah Irak.
Pasukan Irak menemukan kuburan massal korban kekejaman ISIS di Kirkuk. [http://en.abna24.com]
Dalam satu insiden pada tanggal 17 Juni, tiga pria Syiah diculik oleh militan ISIS yang menyamar sebagai polisi di pos pemeriksaan di jalan raya. Sepuluh hari kemudian mayat mereka yang yang telah dimutilasi ditemukan, dan disertai dengan bahan peledak untuk membunuh siapa saja yang menemukan jenazah ketiganya.
Bassem Khudair, seorang kerabat dari salah satu korban mutilasi mengatakan pasukan keamanan tidak kooperatif. Dia meminta kepada para prajurit yang menemukan mobil-mobil pelaku yang dipenuhi peluru untuk mengejar para penculik tetapi ditolak.
"Kami pergi sendiri, dengan tanggung jawab sendiri, karena tiga dari orang kami sendiri telah diculik dan kami tidak bisa hanya menonton. Enam dari kami, semua warga sipil, berjalan sekitar 10 atau 12 kilometer. Kami menemukan dokumen mereka tersebar di tanah saat kami berjalan," ujar Khudair.
Keesokan harinya, dia menerima panggilan telepon dari saudaranya. Salah satu penculik mengatakan mereka akan dieksekusi jika pemerintah tidak membebaskan semua tahanan perempuan Sunni.
Penculik kemudian menelepon Khudair setiap hari. Khudair memberi tahu pemerintah tetapi tidak ada agen intelijen Irak yang menawarkan untuk melacak lokasi penelepon.
Sepuluh hari kemudian, penculik itu memberi tahu Khudair bahwa orang-orang itu tewas. Komandan militer di provinsi Diyala dan Salahuddin tidak mau bertanggung jawab untuk mengambil mayat.
Baca: Iran Laksanakan Hukuman Mati 8 Anggota ISIS
Ketua Dewan Provinsi Diyala, Ali al-Dani, mengatakan keuntungan saat ini terletak pada ISIS.
"Para teroris sekarang bergerak dalam kelompok kecil yang sulit dilacak. Pekerjaan intelijen diperlukan," kata al-Dani.
"Situasinya membingungkan, dan alasannya adalah kekacauan di dalam pasukan keamanan. Tidak ada satu komandan yang memimpin keamanan di provinsi ini. Ini memperkuat Daesh," kata Ketua Provinsi Salahuddin Ahmed al-Kareem.
Kekacauan semacam itu di antara pasukan keamanan telah memungkinkan ISIS untuk kembali melakukan teror, menurut militer, polisi, intelijen, dan pejabat lokal terpilih.
Seorang pria menangis saat menggendong putrinya menuju tentara pasukan khusus Irak dalam sebuah pertempuran dengan militan ISIS di Mosul, Irak, 4 Maret 2017. REUTERS/Goran Tomasevic/File Photo
Mereka mengatakan koordinasi yang buruk, sedikit dukungan dari pemerintah pusat, dan budaya untuk menghindari tanggung jawab menghalangi upaya untuk mencegah kelompok ISIS, yang terus melancarkan serangan tingkat rendah secara terus menerus di samping lonjakan penculikan dan pembunuhan.
Sementara militan ISIS telah berkumpul kembali di pegunungan Hemrin di timur laut, yang membentang dari Diyala, di perbatasan dengan Iran, melintasi Salahuddin utara dan Kirkuk selatan, dan menghadap ke jalan raya utama Irak. Pejabat daerah menggambarkan daerah tersebut sebagai "segitiga kematian".
Para pejabat militer dan intelijen memberikan berbagai perkiraan berapa banyak pejuang Negara Islam yang tetap aktif di Irak. Hashimi menyebutkan jumlahnya lebih dari 1.000, dengan sekitar 500 di daerah gurun dan sisanya di pegunungan.
Al Qaeda pernah memegang kekuasaan atas sebagian besar wilayah Sunni Irak sampai dipukul oleh pasukan AS dan Irak dan sekutu kesukuan mereka selama 2006-2007.
Sisa-sisanya bersembunyi di padang pasir antara Suriah dan Irak dan kemudian berubah menjadi ISIS. Beberapa pejabat khawatir sebuah kelompok yang lebih radikal dapat muncul jika ada celah keamanan.
Meskipun mereka memiliki senapan mesin, senjata anti-tank dan ranjau, militan tidak dapat menembus kota karena mereka tidak lagi menikmati dukungan di antara orang-orang Sunni yang pernah bersimpati dengan mereka, kata Eid Khalaf, wakil kepala polisi Salahuddin.
Baca: Putra Pemimpin ISIS Tewas
"Mereka tidak bisa mendapatkan makanan atau senjata dari warga. Operasi mereka primitif, mereka tidak dapat mengirim bom mobil ke kota," lanjut Eid Khalaf.
Setiap sel Negara Islam berisi antara tiga dan lima pejuang, kata Komandan Operasi Diyala, Letnan Jenderal Muzher al-Azawi. Dia mengatakan tidak ada lebih dari 75 pejuang di provinsi itu.
"ISIS bersembunyi di gunung, membuatnya sulit untuk menemukan mereka. Mereka menanam bahan peledak, menggunakan taktik tabrak lari, dan penembak jitu. Mereka mendirikan pos pemeriksaan palsu untuk penculikan," kata al-Zawi.