TEMPO.CO, Jakarta - Profesi sebagai diplomat terkadang tak seenak yang dibayangkan orang pada umumnya. Banyak tantangan dan tugas diplomatik yang harus dijalankan atas nama negara, termasuk kesiapan mental dan fisik untuk tinggal jauh dari tanah kelahiran. Setidaknya inilah yang dirasakan Shunya Asano, 24 tahun, diplomat muda dari Kementerian Luar Negeri Jepang.
Asano mendapat tugas penempatan pertamanya sebagai diplomat di Kedutaan Besar Jepang di Jakarta sejak 2017. Kepada Tempo, Asano mengaku banyak proses adaptasi yang dilakukannya, khususnya terkait kondisi macetnya Jakarta.
"Jakarta itu macet jadi susah sekali memperkirakan suatu rencana. Kalau untuk makanan, saya tidak masalah karena disini banyak restoran Jepang," kata Asano ditemui dalam acara Friends of Indonesia yang diselenggarakan oleh Kementerian Luar Negeri RI, Jumat, 20 Juli 2018.
Satu tahun tak pulang kampung, Asano mengaku sangat merindukan musim dingin. Namun rasa rindu kampung halaman selalu bisa ditepis saat melihat tingginya animo masyarakat Indonesia untuk mengenal budaya Jepang dan keramah-tamahan masyarakat terhadap warga asing.
Selama bertugas di Indonesia, Asano berharap bisa ikut mendorong hubungan diplomatik Indonesia-Jepang yang pada 2018 berusia 60 tahun. Dia menegaskan, hubungan diplomatik Indonesia-Jepang semakin penting bagi Tokyo menyusul keputusan pemerintah Jepang yang ingin menjadi bagian dari pembangunan infrastruktur Indonesia.
Baca: Kunjungan ke Hungaria, Moeldoko Gunakan Diplomasi Kopi
Shunya Asano, diplomat muda asal Jepang yang mengikuti program FOI. Sumber: Dokumen Kementerian Luar Negeri RI
Baca: 47 Diplomat Kementerian Luar Negeri Nyantri di Pondok Gontor
Lain Asano lain pula yang dirasakan Linna Chheng, diplomat muda yang baru 2.5 tahun bekerja di Kementerian Luar Negeri Kamboja. Linna mengaku sedih karena dimata masyarakat Indonesia, Kamboja tidak sepopuler Thailand.
Hal ini disayangkannya karena Kamboja adalah sebuah negara yang indah dengan banyak tempat pariwisata. Budaya Indonesia-Kamboja pun banyak kesamaan. Namun kunjungan wisata ini tak banyak mengalami kenaikan karena tidak adanya penerbangan langsung Jakarta-Phnom Penh.
Melihat kenyataan ini, Linna pun ingin berkontribusi dalam hubungan diplomatik Indonesia-Kamboja dengan mendorong kerja sama di bidang ekonomi dan pariwisata. Dia ingin setidaknya ada kerja sama antar maskapai di kedua negara sehingga bisa memudahkan lalu lintas masyarakat di kedua negara. Selama ini, masyarakat Kamboja yang ingin ke Indonesia, harus transit di Kuala Lumpur atau Singapura sehingga waktu tempuh menjadi lebih lama.