TEMPO.CO, Jakarta - Museum adalah wadah bagi pengenalan sejarah. Sebagai tempat edukasi sekaligus wisata, museum di Indonesia kerapkali dipandang tidak mengasyikan atau sekadar penyimpan koleksi barang-barang tempo dulu. Berbagai upaya dilakukan oleh lembaga pemerintah maupun kelompok di luar pemerintah untuk mengubah pandangan museum ini. Salah satu gerakan yang menggiatkan museum sebagai sesuatu yang menyenangkan adalah Sahabat Museum Asia Afrika. Gerakan ini berupaya untuk mengubah stigma museum yang sepi menjadi sesuatu yang menyenangkan dan diterima melalui budaya populer.
"Sahabat Museum Konferensi Asia Afrika itu digagas oleh saya dan teman saya, Deni Rahman. Awalnya dari cikal bakal klub membaca kemudian pada tahun 2009 mulai terpikir dan mengajak teman-teman untuk memakmurkan museum. Titik awalnya dari klub baca dan melahirkan klub-klub lain. Gerakan ini dibentuk seiring dengan gerakan cinta museum pada 2010," ungkap Adew Habtsa, salah satu penggagas Sahabat Museum Konferensi Asia Afrika, saat menghadiri acara "TalkWith#MenluRetno Beyond The Bandung Spirit" di Museum Konferensi Asia Afrika, Bandung, Jawa Barat, 14 Juli 2018.
Baca: Menlu Retno Marsudi: Lestarikan Sejarah dengan Mencintai Museum
Terlihat salah satu anggota Sahabat Museum Konferensi Asia Afrika sedang membaca buku. Salah satu acara rutin klub baca Sahabat Museum Konferensi Asia Afrika adalah "Tadarusan Buku" [Adew Habtsa via Tempo]
Adew mengatakan gerakan Sahabat Museum Konferensi Asia Afrika saat ini memiliki anggota sekitar 300 orang yang terdiri dari berbagai klub mulai dari 12 klub, mulai dari klub membaca hingga klub teater dan musik. Gerakan ini berupaya membawa sejarah terutama melalui museum ke generasi muda. Sahabat Museum Konferensi Asia Afrika juga terlibat dalam acara museum sekaligus menjadi mitra acara.
"Setiap klub memiliki agenda masing-masing. Karena kita mitra Museum Konferensi Asia Afrika, maka kita membantu acara yang berkaitan dengan museum, misalnya HUT Konferensi Asia Afrika. Acara semacam ini digerakan juga oleh Sahabat Museum KAA dalam setiap program Museum KAA yang notabene-nya di bawah naungan Kemenlu," tambah Adew.
Menurut Adew setiap klub memiliki agenda masing-masing, seperti klub membaca yang ia koordinir, memiliki acara rutin "Tadarusan Buku" setiap pekan. Acara rutin ini merupakan diskusi buku yang berkaitan dengan sejarah, budaya, sastra dan filsafat. Selain itu Sahabat Museum KAA juga melestarikan museum dan sejarah dengan membawa budaya populer sebagai medianya. Klub-klub Sahabat Museum KAA menghasilkan karya tulis dan seni seperti novel, puisi, gambar, karikatur, musik, teater dan lainnya.
Anggota klub membaca Sahabat Museum Konferensi Asia Afrika berpose. Penggagas klub membaca Adew Habtsa (paling kanan bawah) membentuk gerakan Sahabat Museum Konferensi Asia Afrika untuk melestarikan sejarah.[Adew Habtsa via Tempo]
"Ini upaya yang terus diperbincangkan oleh teman-teman bagaimana museum tidak berjarak dengan warga dan mencoba menyentuh situasi generasi masa kini dengan memasuki dunia mereka masing-masing, bisa dengan musik, sastra, atau dengan cara yang lebih populer. Kami merasa semangat Bandung ini bisa diterapkan di diri kita masing-masing, seperti tadi, bisa dibuat novel, atau gambar, karikutir, karena benteng pertahanan terakhir kemanusiaan adalah museum. Semakin memahami masa lalu semakin siap menghadapi masa depan," ujar Adew.
Pengunjung gunakan pakaian ala pejuang pada pembukaan pameran foto "Membangun Asia Afrika: Menuju 60 Tahun KAA" di Museum KAA, Gedung Merdeka, Bandung, Jabar, 12 Agustus 2014. TEMPO/Aditya Herlambang Putra
Sahabat Museum KAA juga mempopulerkan budaya membaca seperti di mall atau di tempat umum lainnya. Adew mengaku mendapat tawaran dari mall-mall atau perpusatakaan, atau kerjasama dengan museum lain. Menurutnya ini adalah upaya gerakan ini untuk mulai membuka diri untuk tidak eksklusif. Selain itu, Sahabat Museum KAA juga sering melakukan napak tilas ke makam Bung Karno atau tokoh nasional lainnya.
Baca: 5 Aturan Yang Harus Dicermati di Museum Sejarah Jakarta
Adew menilai semangat Bandung sebagai "Kota Asia Afrika" bukan hanya pada Konferensi Asia Afrika, tetapi juga Dasasila Bandung yang telah menjadi semacam "Pancasila" internasional bagi negara Asia Afrika. Menurutnya Konferensi Asia Afrika masih relevan dengan zaman sekarang. Adew berharap bisa terus melestarikan sejarah melalui museum dan klub membacanya.
"Tantangan saya tetap belajar di klub membaca dan berharap untuk terus konsisten," tukas Adew.