TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Irak melarang petani bercocok tanam pada musim panas tahun ini karena Irak sedang dilanda krisis air. Merujuk pada suhu tinggi dan hujan yang tidak cukup, Dhafer Abdalla, seorang penasihat Kementerian Sumber Daya Air Irak, seperti dilaporkan Associated Press, 5 Juli 2018, mengatakan negara itu hanya memiliki cukup air untuk mengairi setengah lahan pertaniannya untuk musim panas ini.
Tetapi para petani menyalahkan pemerintah karena gagal memodernisasi pengelolaan air dan irigasi. Petani juga menyalahkan tetangganya, Turki, karena menghentikan aliran sungai Tigris dan Eufrat di bendungan yang dibangun Turki.
Baca: Krisis Air, Petani Berusia 70 Tahun Belah Gunung Sepanjang 3 Km
Ketinggian air di dua sungai penting ini, Tigris dan Eufrat, di mana peradaban awal Irak muncul dan dikenal sebagai Mesopotamia, turun 60 persen lebih dalam dua dekade terakhir, menurut laporan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB, FAO, pada 2012.
Larangan menyemai padi, jagung, dan tanaman lain musim panas ini sangan mengejutkan penduduk di kota dan desa yang dulunya merupakan tanah subur di selatan Baghdad, dan ekonomi lokal bergantung pada pertanian. Secara nasional, satu dari lima warga Irak bekerja di bidang pertanian.
“Saya merasa seolah-olah saya sudah hancur,” kata seorang petani Irak, Akeel Kamil, saat dia melihat ladangnya yang tandus di dekat kota Mishkhab.
Dalam foto yang diambil pada 26 Juni 2018 ini, para petani menyiapkan sisa padi mereka untuk dijual, di kota Irak Mishkhab di selatan Najaf.[AP Photo/Anmar Khalil]
Lahannya seluas 100 dunam atau setara 25 hektar, tahun lalu menghasilkan 150 ton beras Anbar, jenis beras Irak yang berharga tinggi karena aromanya wangi. Tahun ini, pompa-pompa biasanya membanjiri ladangnya dengan air kini tidak beroperasi dan saluran irigasi yang membentang di dekatnya hampir kosong.
Irigasi telah digunakan di daerah tersebut selama ribuan tahun, meskipun FAO telah memperingatkan tentang pemborosan air besar-besaran. FAO dan organisasi lainnya menyerukan kepada pemerintah Irak untuk mengubah pendekatannya terhadap pertanian dan mempromosikan metode yang lebih efisien termasuk irigasi tetes dan semprot. Namun Kementerian Sumber Daya Alam Irak tidak bisa memenuhi desakan itu karena tidak memiliki anggaran.
Baca: India Alami Krisis Air Bersih Terburuk Dalam Sejarah
Petani menggelar demonstrasi menentang moratorium. Mereka menuntut penutupan tanggul di sepanjang cabang Sungai Eufrat untuk membiarkan tingkat air naik untuk irigasi. Mereka juga menuntut pemerintah untuk mendapatkan lebih banyak air dari Turki, mengisi waduk di Irak, dan mengebor kedalaman tanah lebih dalam.
"Ketika kami protes, tidak ada yang mendengarkan kami. Kemudian kami menutup tanggul, dan polisi datang dan para politisi mulai memanggil kami pengacau. Apakah ini cara pemerintah memperlakukan rakyatnya?" Kata Mahdi al-Mhasen, seorang petani berusia 48 tahun di Mishkhab.
Dalam foto yang diambil pada 26 Juni 2018 ini, seorang petani memasang pompa air untuk irigasi di kota Irak Mishkhab, di selatan Najaf.[Foto AP / Anmar Khalil]
Imam Ayatollah Ali al-Sistani, tokoh Syiah terkemuka di Irak, mengatakan kepada pemerintah bahwa negara harus membantu para petani dan memodernisasi irigasi dan pertanian. Menanggapi tekanan yang digencarkan kepada pemerintah, akhirnya pemerintah membatalkan larangan menana pertanian padi. Namun jurubicara Kementerian Pertanian, Hameed al-Naief, mengatakan bahwa hanya 5.000 dunam atau 1.236 hektar lahan irigasi yang dapat dialokasikan untuk panen musim panas ini, kurang dari 3 persen dari area yang diizinkan tahun lalu.
Dampak dari krisis air di sekitar Mishkhab jelas terjadi di Mishkhab. Penyelam lokal dan patroli sungai mengatakan bahwa cabang Eufrat mereka jauh lebih dangkal dibanding tahun lalu.
Dalam foto yang dambil pada 26 Juni 2018 ini, ketinggian air di Sungai Eufrat, di kota Irak Mishkhab selatan Najaf, semakin surut.[AP Photo/Anmar Khalil]
Awal musim panas ini, video dan foto yang tersebar di media sosial menunjukkan tingkat air Sungai Tigris sangat rendah sehingga warga Irak di Baghdad bisa menyeberanginya dengan berjalan kaki.
Sekitar 70 persen pasokan air Irak mengalir dari negara-negara hulu. Turki menyedot bagian sungai Tigris dan Eufrat untuk penduduknya yang terus bertambah di tengah iklim yang memanas, dengan membangun bendungan baru yang akan semakin menekan ketersediaan air di Irak.
Suriah diperkirakan akan mulai menarik lebih banyak air dari sungai Eufrat setelah perang sipil selama beberapa tahun.
Dalam foto 26 Juni 2018 ini, seorang petani berjalan melewati ladang kosong di mana ia biasanya menanam padi, di kota Irak Mishkhab di selatan Najaf.[AP Photo / Anmar Khalil]
Dilansir dari Gulfnews, Irak yang dijuluki "negeri dua sungai" karena keberadaan sungai Tigris dan Eufrat, mengalami krisis air yang dramatis. Negara tetangga Turki dan Iran dalam beberapa tahun terakhir telah merombak aliran air lintas batas mereka yang menuju Irak.
Turki mulai mengisi raksasa Ilisu Dam di hulu pada Juni, namun berhenti operasi hingga Juli setelah permohonan dari Baghdad. Kementerian Sumber Daya Air Irak mengatakan memiliki cukup air di belakang Bendungan Mosul untuk menjamin aliran yang cukup untuk setahun, tetapi para ahli mengatakan Ilisu bisa memakan waktu hingga tiga tahun untuk diisi, tergantung pada hujan.
Baca: Pertama di Dunia, Cape Town Kehabisan Air Bersih Maret 2018
Bendungan itu telah memicu kemarahan dan keprihatinan di seluruh masyarakat pertanian Irak dan dari otoritas Irak, yang sudah menghadapi konflik sosial yang mengakibatkan kekurangan listrik parah di seluruh negeri.
Moratorium terakhir padi dikeluarkan pada 2009, tetapi pada tahun itu petani diizinkan menanam tanaman lain untuk menopang pendapatan mereka. Tahun ini, tidak ada penangguhan semacam itu. Meskipun didaulat sebagai produsen minyak terbesar ketiga OPEC, Irak tidak seperti Arab Saudi yang berhasil mendistribusikan pendapatannya ke seluruh populasi.