TEMPO.CO, New York – Lembaga Amnesty International mendesak 13 orang pejabat militer Myanmar termasuk Panglima Min Aung Hlaing bertanggung jawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan terhadap warga etnis minoritas Rohingya.
Laporan ini juga menyebut nama Wakil dari Jenderal Hlaing yaitu Wakil Jenderal Senior Soe Win, dan sejumlah komandan dari unit spesifik yang terlibat melakukan berbagai tindakan kejahatan terburuk terhadap warga etnis Rohingya.
Dari 13 orang yang disebut, 10 orang merupakan pimpinan militer dan 3 orang pimpinan Polisi Penjaga Perbatasan.
Baca:
Kisah Kejamnya Tentara Myanmar Membantai Etnis Rohingya
Myanmar Pecat Jenderal yang Terlibat Membunuh Rohingya
“Amnesty International telah mengumpulkan bukti-bukti yang banyak dan kredibel mengenai Panglima Myanmar, Jenderal Senior Min Aung Hlaing, dan 12 orang lainnya dalam kejahatan terhadap kemanusiaan terkait pembersihan etnis Rohingya di negara bagian Rakhine Utara,” begitu dilansir situs Amnesty.org pada Rabu, 27 Juni 2018 waktu setempat.
Min Aung Hlaing. REUTERS
Laporan Amnesty International ini termuat dengan judul “We Will Destroy Everything: Military Responsibility for Crimes against Humanity in Rakhine State Myanmar” (Kami akan Hancurkan Semuanya: Tanggung jawab Militer Atas Kejahatan Terhadap Kemanusian di negara bagian Rakhine Myanmar).
Baca:
Soal Rohingya, ICC Ancam Seret Myanmar ke Mahkamah Internasional
Biksu Myanmar Anti Rohingya Masuk Daftar Hitam Facebook
Seperti dilansir Reuters, pengurus Amnesty juga meminta Dewan Keamanan PBB untuk merujuk temuan dalam laporan itu dalam Pengadilan Kriminal Internasional, ICC. Amnesty mendesak PBB mengenakan embargo senjata terhadap Myanmar dan mengenakan sanksi finansial terhadap para pejabat senior negara itu.
“Mereka yang tangannya penuh darah – hingga kepada komando tertinggi Jenderal Senior Min Aung Hlaing – harus dimintai tanggung jawab atas peran mereka memantau atau melaksanakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan pelanggaran serius Hak Asasi Manusia lainnya seperti diatur dalam hukum internasional,” kata Mathew Wells, yang merupakan penasehat senior bidang krisis di Amnesty International seperti dilansir di situs resmi lembaga ini.
Foto-foto yang diunggah oleh Letnan Kyi Nyan Lynn dari Divisi Infantri ke-33 di Facebook.[Facebook via Reuters]
Matthew melanjutkan,”Ledakan kekerasan – termasuk pembunuhan, pemerkosaan, penyiksaan, pembakaran dan membuat orang kelaparan – dilakukan oleh pasukan keamanan Myanmar di desa - desa di negara bagian Rakhine bukanlah tindakan dari prajurit atau unit yang jahat dan membelot. Ada segunung bukti ini adalah bagian dari serangan sistematis yang dirancang terhadap populasi Rohingya.”
Saat Reuters meminta tanggapan soal ini, juru bicara pemerintah Myanmar belum merespon.
Sekitar 700 ribu warga etnis minoritas Muslim Rohingya melarikan diri ke Bangladesh dari Myanmar, yang mayoritas beragama Budha. Ini terjadi setelah militer Myanmar menggelar serangan terhadap milisi Rohingya pada Agustus 2017. PBB menyebut serangan ini sebagai contoh nyata bentuk pembersihan etnis.
Reuters juga menurunkan laporan mengenai ini dan menyoroti tindakan dua divisi infrantri yang melakukan serangan terhadap warga sipil Rohingya.
Amnesti mendesak pemerintah Myanmar menghentikan pengekangan dan mengembalikan hak kewarganegaraan Rohingya, yang dijuluki Bengali dengan makna negatif pengungsi dari Bangladesh di sana.